Wednesday 18 April 2012

Peranan Konselor

PERSEPSI PERANAN KONSELOR DARI WAKTU KE WAKTU

Menurut Nurgent (1981) perkenbangan profesi konseling di Amerika Serikat melalui enam babakan yang masing-masing menampilkan persepsi tersendiri terhadap peranan konselor. Babakan itu adalah :
  • 1900 – 1920 : Awal dari konseling sekolah
  • 1920 – 1940 : Pengaruh Pendidikan Progresif terhadap Konseling
  • 1940 – 1960 : Awal dan perkembangan Konseling Psikologi
  • 1960 – 1970 : Usaha Profesionalisasi
  • 1970 – 1980 : Perjuangan terhadap profesionalisasi konselor
  • 1980 keatas : Perlunya Kesatuan dan Keluwesan Profesional.
Pelayanan konseling di Amerika Serikat dimulai pada abad ke-20. Peranan konselor pada waktu itu ditandai dengan pelayanan bimbingan dan konseling jabatan atau pekerjaan, khususnya berkenaan dengan pemilihan, penyiapan sesorang untuk memasuki jabatan atau pekerjaan tertentu serta permasalahannya yang timbul ketika dan setelah seseorang memasuki jabatan atau pekerjaan tertentu.
Bimbingan dan konseling jabatan mewarnai seluruh pelayanan yang dilakukan, termasuk pelayanan di sekolah-sekolah.

Pada tahun 1920-an dan 1930-an pengaruh Jhon Dewey dengan “pendidikan progresifnya” melanda sekolah-sekolah. Progresivisme Dewey ini menekankan peranan sekolah menunjang perkembangan anak dalam segi-segi sosial, moral dan kepribadian, dan tidak semata-mata menangani masalah intelektual. Dalam kaitan ini, para pendidik yang “progresif” tidak menyukai pelayanan konseling yang bersifat vokasional, karena dipandang sebagai kurang melayani individu secara keseluruhan. Kemudian berkembanglah di sekolah-sekolah “ bimbingan pendidikan”. Tujuan utama dari bimbingan ini adalah meningkatkan keterampilan hidup bagi para siswa. Dengan demikian seluruh unsur sekolah harus berperanan sebagai “pendidik kejiwaan”.

Penampilan pendidikan progresif ternyata tidak begitu lama. Pendekatan Dewey ini akhirnya mendapat tantangan dari orang tua dan para pendidik sendiri. Pendekatan progresif dianggap anti intelektual dan terlalu bersifat membiarkan anak.Dalam pada kegiatan itu kegiatan bimbingan di sekolah menjadi amat merosot. Jumlah konselor di sekolah menurun amat tajam. Bahkan pernah diperkirakan jumlah konselor sekolah pada tahun 1942 lebih rendah dibandingkan dengan jumlah konselor pada tahun 1915. Peranan konselor sekolah menjadi benar-benar kabur. Mereka sering kali ditugaskan sebagai “orang bijaksana” yang mengatur jadwal pelajaran, penjaga disiplin sekolah, ataupun sebagai petugas administrasi.

Pada tahun 1940-an munculah peranan psikologi humanistik (yang ditokohi oleh Carl Rogers dan kawan-kawan) terhadap pelayanan sosial yang lebih luas. Pada babakan ini mulai berkembanglah konseling psikologi. Pada tahun 1950-an upaya konseling psikologi itu lebih menemukan bentuknya yang lebih jelas.

Perkembangan ini lebih mengarahkan pekerjaan konseling pada bidang psikologi sehingga menimbulkan kekaburan bagi konselor yang semula tidak berorientasi pada psikologi di satu segi, dan mengumandangkan pengakuan yang tidak seimbang pada para ahli psikologi yang merasa lebih berwenang dalam pekerjaan konseling. Dalam suasana seperti ini konseling jadi terombang-ambing antara bidang psikologi dan pendidikan. Sebagai akibatnya, peranan konselor sekolah semakin tidak mantap. Para konselor makin terjerumus kedalam urusan administrasi yang bertele-tele. Konselor di Sekolah Dasar pada waktu itu bahkan belum dikenal.

Pada akhir tahun 1950-an keadaan tiba-tiba berubah, yaitu dengan diluncurnya pesawat angkasa luar yang pertama oleh Uni Soviet (tahun 1957). Seperti telah disinggung pada awal bab 1, kejadian ini membuat bangsa amerika terkejut dan menyadari ketinggalannya. Usaha utama mengajar ketinggalan ini ialah melalui pendidikan.

Sehubungan dengan hal ini kongres Amerika Serikat mengeluarkan keputusan yang amat menunjang perkembangan profesi konseling. Tujuan keputusan ini ialah untuk menelusuri dan mengembangkan bakat keilmuan canggih disekolah-sekolah sehingga bangsa amerika dapat kembali merebut kepemimpinan ilmu dan teknologi di dunia. Keputusan ini secara tegas menyokong dan memberikan dana yang besar bagi program konseling disekolah menengah. Seiring dengan itu, program pendidikan konselor mendapatkan sokongan yang tidak kurang pula. Lebih jauh, konseling di sekolah dasar juga mulai dikembangkan.

Perkembangan baru yang muncul pada akhir tahun1950-an itu benar-benar merupakan momentum yang amat baik bagi profesi konseling. Harkat pekerjaan konseling itu, pada tahun 1960-an sisi lain dari dunia konseling, yaitu sisi yang lebih profesional berkembang pula. Pendekatan humanistik, behavioristik, gestalt dan eklektik berkembang dengan pesat. Di samping itu, APGA (american personnel and guidence association), ASCA (american shool counselor associantion) dan ACES (association for Counselor Education And Supervision) mulai merumuskan peranan konselor dan standar etika konselor secara lebih profesional. Rupanya momentum pada tahun 1960-an itu mendorong perkembangan dunia konseling pada taraf yang belum pernah dicapainya, baik dalam kuantitas maupun dalam arahnya yang lebih profesional.

Namun tahun-tahun baik bagi dunia konseling ternyata tidak berlangsung lama. Sebetulnya pada tahun 1970-an kebutuhan akan pelayanan konseling amat meningkat baik di sekolah maupun di masyarakat pada umumnya, tetapi ternyata kebutuhan itu tidak terlayani secara memadai. Penerapan konseling profesional sebagaimana dirumuskan tidak terwujud. Perhatian yang seperti menggebu-gebu terhadap profesi konselling pada tahun 1960-an mulai menurun pada tahun 1970-an. Pada babakan ini peranan konselor sekolah dianggap tidak penting.

Suasana muram pada tahun 1970-an itu tampak seperti terulangnya kembali penyakit yang menimpa dunia konseling tahun 1930-an sampai 1950-an. Bahkan keadaan tahun 1970-an tampak lebih parah karena kebutuhan dan aspirasi masyarakat makin meningkat serta tantangan dan persaingan dari profesi-profesi yang lain semakin kuat. Babakan tahun 1970-an itu benar-benar merupakan babakan perjuangan bagi profesi konseling. Atas kritikan dan tantangan yang amat deras itu, Pine (1975), mencari kaitan pada kenyataan bahwa sebagian besar konselor sekolah pada waktu itu sebenrnya Untrained (tidak dilatih terlebih dahulu), undertrained (dilatih secara tidak memadai) dan Uncommitted (tidak sepenuh hati menekuni pekerjaannya).

Pada waktu itu banyak tenaga konselor yang diangkat tanpa terlebih dahulu diberi latihan, atau hanya diberi latihan sekedarnya saja, atau hanya diberi kesempatan menghadiri suatu lokakarnya singkat saja. Kritikan itu juga dikaitkan pada asumsi-asumsi dan tujuan konseling yang tidak jelas sehingga menimbulkan praktek yang tidak tentu arah, yang semuanya itu merugikan keberadaan profesi konseling sendiri.

Karena pada waktu itu arti bimbingan dan konseling masih bermacam-macam atau bahkan konsep bimbingan dan konseling diartikan secara tidak tepat, maka timbul banyak kerunyaman dan kritikan. Di berbagai sekolah propesi konseling yang belum mapan itu banyak menimbulkan hambatan administratif.

Tugas yang tidak jelas itu menimbulkan persepsi bahwa konseling adalah suatu yang dapat dilakukan tanpa persiapan terlebih dahulu dan tanpa keterampilan khusus ; Konseling merupakan pelayanan yang tidak unik dan dapat dilakukan oleh siapapun juga, oleh ahli-ahli lain, oleh orang setengah ahli, atau bahkan oleh sukarelawan yang tidak tahu ujung pangkal konseling. Adalah menyedihkan bahwa pelayanan konseling yang mestinya bersifat profesional terapeutik itu pelaksanaannya diserahkan kepada guru kelas.

Dari semua kenyataan itu, akhirnya Pine menyimpulkan bahwa hanya jika para konselor tahu mengapa mereka ada, apa yang diharapkan dari mereka, apa fungsi yang unik dan tanggung jawab khusus dari mereka, mereka akan dapat mereaksi secara tepat terhadap segala macam kritikan dan tantangan itu.


DAFTAR PUSTAKA :
Tags : Persepsi Peranan Konselor, Konselor Dari waktu Ke Waktu, Peranan Konselor