Thursday 3 May 2012

Makalah Pemetaan Dan Diskursus Pemikiran Islam

PEMETAAN DAN DISKURSUS PEMIKIRAN ISLAM
TIMUR TENGAH ERA MODERN

A. Pendahuluan

Perkembangan pemikiran keislaman sepanjang sejarah telah menunjukkan adanya varian-varian. Varian itu berupa semacam metodologi, kerangka berpikir dan orientasi yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lainnya. Fenomena seperti ini pada dasarnya sudah muncul sejak zaman Rasul Saw. dan al-Khulafâ al-Râsyidûn. Pada masa itu sudah ada kecenderungan pemikiran yang jika dipetakan memunculkan madrasah hadîst di satu sisi dan madrasah ra’yî pada sisi lain[1]. Tetapi perbedaan yang tampak saat itu tidak begitu mencolok. Lain halnya mulai masa Dinasti Ummayah dan Dinasti Abasiyyah, madrasah hadîst dan madrasah ra’yî tampil begitu mencolok dalam panggung sejarah pemikiran dengan seperangkat metodologi dan landasan epistemologisnya.

Runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani yang diakibatkan oleh kolonialisme Barat, telah mempengaruhi perkembangan pemikiran keislaman hingga tampil lebih variatif. Kolonialisme telah cukup lama mengendalikan sendi-sendi kehidupan di negara-negara Islam, termasuk denyut kehidupan intelektualisme dunia Islam. Kolonialisme membuat kondisi umat Islam dilemahkan (mustadh’âf) di sektor pemikiran keislaman, sehingga yang muncul adalah kebekuan cara berfikir umat dan merajalelanya tradisi taqlid. Kondisi ini yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan pemikiran baru yang masing-masing menawarkan diri sebagai gerakan pemikiran alternatif.


Kebekuan pemikiran Islam jika dirunut jauh ke belakang sampai penggalan sejarah Islam zaman pertengahan di mana pemikiran Islam kritis dan rasional pasca Ibnu Rusyd terasa mati karena pintu ijtihad telah ditutup dan rasionalisme dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfîr) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. 

Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan atas Para Filosof) [2]. Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim yang menjadi obyek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).

Gema tertupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran umat untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadîs dan ahlu ar-ra’yî, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern. Tak jarang yang muncul kemudian adalah perdebatan yang tidak sebatas perang wacana (clash of discourse) tapi juga pergesekan dalam ranah politik (clash of politic). Sehingga fenomena saling hujat antar sesama pemikir Muslim tidak bisa dihindari lagi.

Pada klimaksnya, masing-masing kubu yang bertikai itu tak jarang menggunakan cara-cara kekerasan (radikalisme) sebagai senjata untuk membungkam gerakan lawan. Sejarah telah mencatat itu, misalnya gerakan radikalisme di Mesir yang dilakukan oleh kaum fundamentalis, di Al-Jazair dan demikian pula di Turki.

Tulisan sederhana ini adalah sebuah upaya pemetaan pemikiran yang berkembang di Timur Tengah yang sekaligus menganalisis wacana yang diusung, dalam rangka mengetengahkan potret intelektualisme Timur Tengah secara utuh dan obyektif. Peta sekaligus analisis wacana dalam dataran berikutnya dapat memberi inspirasi untuk melakukan kritik (naqd) dan sekaligus rekonstruksi (i’âdah buniyat min jadîd) atas pemikiran yang sudah ada. Dan di sinilah starting poin proyek pengembangan pemikiran Islam di masa-masa mendatang.

B. Batasan Istilah untuk “Pemikiran Islam” dan “Timur Tengah”

Pemikiran Islam adalah hasil dari proses berfikir secara mendalam (filosofis) dengan menggunakan kerangka berfikir dan metodologi tertentu oleh seorang yang disebut pemikir Muslim, yang obyek studinya adalah Islam (sebagai sumber pengetahuan)[3]. Mungkin definisi ini terlalu mengesampingkan fakta empirik, bahwa tidak selamanya pemikiran lahir melalui proses berfikir metodologis yang biasa terjadi dalam tradisi berfikir irfâni, dengan intuisi (dhauq) sebagai basis metodenya[4].

Sejarah pemikiran adalah sejarah para pemikir, begitu tulis Luthfi Assyaukani,[5] sejarah kaum elit yang dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah.. Istilah “pemikir” itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan lain untuk “intelektual” dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih filosofis kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti philosopher, thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas satu dengan yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher - karena faktor sejarahnya- adalah istilah yang paling signifikan untuk mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang.

Gambaran tentang istilah pemikir di atas dimaksudkan untuk memberi acuan dan batasan tentang pemikir dan pemikiran serta aplikasinya dalam tulisan ini. Dalam peta dan analisis wacana pemikiran Timur Tengah yang akan terpapar dalam tulisan ini, ada sekelompok pemikir yang berpengaruh hanya karena tulisan-tulisannya, ada yang namanya lebih terkenal dari pemikirannya, dan ada pemikir yang hanya terkenal sebatas di dunia akademis.

Istilah “Timur Tengah” sebagaimana kata Hasan Hanafi,[6] adalah ungkapan bahasa Inggris (Middle East). Karena, menurut dia, negara-negara Arab adalah “Timur Tengah” jika dibandingkan dengan Cina atau “Timur Jauh”, dan negara Arab kawasan Barat (Maghribi, Maroko dan sekitarnya), adalah “Timur Dekat” bagi orang Inggris. Sebagaimana Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara bagi Orang Barat dan berada di kawasan Barat daya bagi orang Timur. Jadi Istilah Timur Tengah dalam tulisan ini adalah nama untuk kawasan negara-negara Arab (Mesir, Arab Saudi, Iraq, Iran dan sekitarnya).

Tipologi Pemikiran Islam Timur Tengah

Berakhirnya kolonialisme dan imperalisme Barat di negara-negara Islam, telah mengetuk kesadaran umat akan keterbelakangan, kebodohan, kejumudan dan ketertindasan. Kesadaran ini lebih terasa lagi ketika diingat bahwa lintasan sejarah Islam pernah menorehkan tinta emas peradabannya. Islam pernah berada dalam posisi terdepan dalam penggung peradaban dunia, berbarengan dengan keunggulannya di pelbagai dimensi kehidupan ; ekonomi, Iptek, militer, politik dan sebagainya.

Umat Islam belum sempat bangkit dari keterpurukannya akibat kolonialisme, krisis Timur Tengah kembali mencuat dengan munculnya konflik Arab-Israel. Pukulan telak menimpa dunia Islam setelah Israel berhasil “memenangkan” konflik itu yang membuat mereka bertanya-tanya : what’s wrong dengan sekumpulan negara besar yang mempunyai jumlah tentara dan peralatan yang cukup memadai dipaksa kalah oleh Israel - negara kecil dengan tidak lebih dari tiga juta penduduknya? Pada tahun 1967 dianggap sebagai “penggalan” (qathi’ah) dari keseluruhan wacana Arab modern,[7] karena masa itulah yang mengubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa problem sosial-budaya yang dihadapinya. Inilah awal mula apa yang dinamakan kritik-diri yang kemudian direfleksikan dalam wacana-wacana keilmiahan, baik dalam ranah akademis maupun literatur-literatur ilmiah lainnya.

Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan (tafsir al-azmah) tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian modernitas. Karena itu, pertanyaan yang mereka ajukan adalah; bagaimana seharusnya sikap bangsa Arab dalam menghadapi tantangan modernitas dan tuntutan tradisi?[8] Telah lebih dari dua dekade, masalah tersebut terus dibicarakan dan didiskusikan dalam seminar-seminar, dalam bentuk buku, artikel dan publikasi lainnya.

Lalu masalah tersebut menjadi common denominator untuk setiap intelektual Arab yang peduli terhadap masalah kearaban dan keislaman. Persoalan itu sebenarnya bukan tidak pernah dibahas oleh pemikir-pemikir Arab sebelumnya. Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad ‘Abduh dan ‘Abd al-Rahman Kawâkibi.[9] Namun sebagai satu wacana epistemik, masalah tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir. Lebih dari itu semua, masalah tradisi dan modernitas telah menjadi agenda penting untuk proyek peradaban pemikiran Arab berikutnya.

Gerakan-gerakan pemikiran Islam di Timur Tengah muncul dan berkembang dari latar belakang situasi sosio-politik seperti tergambar di atas. Gerakan-gerakan itu dalam tataran idealisme, berada dalam aras persepsional yang sama antara gerakan pemikiran satu dengan yang lain, tetapi dalam tataran corak atau aksentuasi intelektualitas dan orientasi mereka berbeda, bahkan dalam banyak kasus bertolak belakang.

Issa J. Boullata membagi pemikiran Islam Timur Tengah menjadi dua kecenderungan, yaitu progresif-modernis dan konservatif-tradisionalis. Menurutnya, kelompok progresif-modernis adalah gerakan pemikiran yang mengidealkan tatanan masyarakat Arab yang modern, dengan kata lain, gerakan pemikiran yang berorientasi ke masa depan (future oriented). Pola berfikir mereka tidak keluar dari frame metodologi Barat yang mereka klaim sebagai satu-satunya alternatif untuk membangun peradaban Arab modern. 

Gerakan pemikiran ini secara mayoritas diwakili oleh kalangan yang pernah belajar dan berinteraksi dengan pemikiran Barat. Adapun kelompom konservatif-tradisional adalah gerakan pemikiran yang memiliki pola pikir dengan frame klasik (salaf). Mereka sangat membanggakan kemajuan dan kejayaan Islam masa lampau, dan untuk membangun kamajuan dan kejayaan peradaban Islam masa mendatang, pemikiran Islam harus berbasis metodologi pemikiran Islam klasik (past oriented).[10]

Muhammad Imarah sedikit berbeda dengan Issa J. Boullata dalam memetakan pemikiran Islam Timur Tengah. Imarah membagi kecenderungan pemikiran Islam Timur Tengah dalam tiga varian, yaitu: Pertama, tradisional-konservatif; kedua, reformis (al-ishlah wa al-tajdid); dan ketiga, sekuler.[11] Luthfi as-Syaukanie dalam bahasa yang berbeda membagi antara tipologi transformatik, reformistik dan ideal-totalistik. Transformatik untuk kelompok sekuler, dan total idealistik untuk kelompok tradisional-konservatif.[12] Secara lengkap pemetaan wacana pemikiran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Transformatik sekuler

Dalam bahasa Arab, istilah sekuler disebut al’almāniyyah dari asal kata al-‘alam. Dalam baha latin, istilah sekuler berasal dari kata saekulum, yang berarti ‘alam’ dan diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi oeon, yaitu masa atau skala waktu.[13] Dalam Mu’jam al-Ulum al-Ijtima’iyah, istilah sekuler berasal dari bahasa Inggris, secularism, yang berarti dunia, alam atau realitas. Pengertian ini menjadikan istilah sekuler berlawanan dengan istilah ‘kekudusan’, yaitu agama, pendeta, wakil dari langit, monopoli kekuasaan Tuhan dan sebagainya.[14]

Ketika berbicara tentang sekularisme dalam kontek diskursus pemikiran Islam Timur Tengah, maka tidak terlepas dari terminologi dan kesejarahan sekularisme di Barat. Karena pada dasarnya, sekularisme adalah pola berfikir atau model pendekatan yang diimpor dari Barat.[15] Di kalangan para pemikir Muslim sendiri terjadi perbedaan persepsi dalam memandang sekularisme, dilihat dari sudut manfaatnya sebagai faham atau perspektif dan metodologi dalam mencandra realitas atau problem masyarakat. Sebagian memandang sekularisme cenderung - bahkan sama sekali – menjerumuskan pada kondisi antrophosentistik yang menjauhkan umat dari agamanya. Sebagian yang lain memandang sekularisme sebagai perspektif alternatif untuk mengurai dan menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan.

Tipologi transformatik-sekularistik mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang.[16] Karena itu, harus ditinggalkan. Dengan kata lain, pemikir tipe ini menggeser dominasi agama (konservatisme agama) yang selama ini menjadi perspektif tunggal dalam memandang persoalan kehidupan, diganti dengan kekuatan rasio, yang menurut mereka yang mampu mengendalikan semua dimensi kehidupan.[17]

Para pemikir Arab yang mempunyai kecenderungan transformatik-sekuler kebanyakan berorientasi kepada Marxisme. Afiliasi mereka kepada Marxisme bukan pada dimensi ideologi politik, tetapi lebih pada aspek intelektualnya. Dan berikut ini akan kita simak pandangan-pandangan dua pemikir Marxis Arab, Thayyib Tayzini dan Abdullah Laroui[18] tentang problem dunia Arab kontemporer. Juga akan dipaparkan secara sekilas pemikir sekuler-transformatik yang non-Marxis, yakni Thaha Husain dan Salamah Musa.

Thayyib Tayzini adalah seorang profesor ternama di universitas Damaskus, Syria. Gelar doktor filsafat diraihnya dari universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman. Ia dikenal dengan proyek peradabannya, Masyru Ru’yah Jadîdah li al-Fikr al-Arâbi min al-’Ashr al-Jahîlî hatta al-Marhalah al-Mu’âshirah (Proyek Visi Baru Pemikiran Arab dari Era Jahiliyyah Hingga Modern). Proyek ini akan ditulisnya dalam dua belas jilid buku, dua di antaranya telah diterbitkan, yaitu Min al-Turâts ila al-Tsawrah: Hawla Nazhâriyyat al-Muqtarâhah fi Qadîyah al-Turâts al-Arâbi, dan Al-Fikr al-Arâbi fi Bawâkirih wa Afâqih al-Ūlâ. Proyek besar Tayzini ini mungkin hanya bisa disejajarkan dengan proyek Hassan Hanafi (al-Turâts wa al-Tajdîd) dan Mohammed Abid Jabiri (Naqd al-’Aql al-’Arâbî).[19]

Judul yang diberikan oleh Tayzini untuk bukunya yang pertama merefleksikan pandangan-pandangan Marxismenya, sekaligus memberi pesan transformatif dari turâts kepada revolusi. Revolusi yang dimaksudkan di sini tentulah revolusi ala Marx. Ia mengkritik para pemikir Arab lain yang membaca turâts secara tidak proporsional, menurut istilahnya, tidak historis (ahistoris/la tarîkhî) dan tidak turâtsî (aheritagial/la turâtsi).[20] 

Turâts , menurut Tayzini, harus didekati secara historis dan harus dilihat dalam konteks hubungan dialektis antara masalah sosio-ekonomi dengan kondisi politik dalam sebuah masyarakat. Unsur seperti ini, terutama yang disebutkan terakhir sangat berperan dalam membentuk turâts manusia, yang kemudian -disadari atau tidak- mendapat justifikasi ontologis. Karenanya, untuk membebaskan turâts dari penafsiran-penafsiran subjektif, ia harus diletakkan dalam kerangka historisisme, “karena sebenarnya, turâts itu sendiri adalah sejarah”.[21]

Warna Marxisme Tayzini terasa sangat kental ketika ia menghubungkan turâts dengan revolusi buruh. Tanpa ragu-ragu ia namakan teorinya al-jadâliyah al-tarîkhîyah al-turâtsiyah (dialektiko histo-turâtsi), yang bertujuan menciptakan revolusi turâts dalam bentuk sosialisme ilmiah. Teori ini menegaskan bahwa revolusi budaya tidak mungkin terjadi dalam kekosongan relasi sosial (a vacuum of social relations), seperti yang kini melanda bangsa Arab. Seperti diketahui, bangsa Arab dikuasai oleh kelas borjuis-feodalis yang secara ekonomi tidak mampu berdiri sendiri. Mereka sangat bergantung kepada kekuatan kapitalis Barat. Secara ideologis, hal tersebut menjadikan para borjuis itu malas atau enggan untuk menciptakan revolusi sosial. Inilah kekosongan relasi itu, bukan hanya antara kelas, tetapi juga antara pemilik modal dengan peninggalan turâts . Sementara kaum buruh (baca: massa) mempunyai keterkaitan emosional yang erat dengan turâts mereka.[22]

Masih dalam paradigma Marxisme tetapi berbeda sudut pandang, Abdullah Laroui membuat sintesa yang hampir mirip dengan Tayzini. Pemikir Maroko ini percaya penuh dengan metode historisisme. Dua buah bukunya la crise des intellectuels arabes: traditionalisme ou historicisme,[23] dan L’ideologie arabe contemporaine[24] adalah kritik historis atas tradisi dan diskursus intelektual Arab tentang turâts. Berbeda dengan Tayzini yang tidak membedakan antara turâts dengan sejarah, Laroui melihat turâts sebagai satu bentuk tradisionalisme yang harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak akan berubah selama golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah cara pandang mereka terhadap turâts . Mereka tidak akan maju selama cara berpikir dan orientasi mereka ke masa lalu.[25]

Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya, kelompok tradisionalis melihat turâts secara ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah menganggap turâts sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga kaum modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat -budaya orang lain. Sikap seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan bangsa itu terus bergantung kepada Barat. 

Kedua kelompok tersebut, menurut Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang lain (Barat) sebagai model yang lain. Kedua-duanya - mengambil masa lalu atau mengambil orang lain - adalah tindakan yang tidak kreatif.[26]

Persoalan tersebut, menurut Laroui, hanya dapat diatasi dengan memperkaya diri berpikir kritis dan historis. Ia melihat, metode berpikir historis (historisisme) hanya dapat dijumpai pada Marxisme dengan teori dialektika historisnya. Karena itu, mempelajari Marxisme demi mencapai level berpikir kritis dan historis harus diberi prioritas. Bukan hanya itu, Marxisme telah dengan rapi menghubungkan masalah-masalah tersebut dengan persoalan ekonomi, sosial dan politik. Ini sangat cocok dan sejalan dengan dunia Arab kontemporer.[27]

Kritik Tayzini dan Laroui dalam beberapa hal adalah juga kritik para intelektual Arab lainnya. Masalahnya bagaimana memberikan metode dan pendekatan yang baik dalam menyampaikan kritik tersebut. Alternatif Marxisme yang diajukan keduanya bukan tidak mendapat kritik dari kalangan pemikir lain. Di samping polanya yang sudah usang, metode Marxisme, dipandang oleh para kritikus Tayzini dan Laroui, sebagai contoh sederhana kegagalan sebuah metode. Apalagi dengan melihat kasus Uni Soviet dan negara-negara yang mempraktekkan sistem itu. Teori Tayzini dan Laroui tampak tidak mempunyai tempat di banyak hati intelektual Arab.

Pemikir yang juga cenderung sekuler di luar dua pemikir di atas adalah Thaha Husain (1883-1973). Proyek pemikirannya yang paling kontroversial terdapat dalam bukunya, Mustaqbâl al-Tsaqâfah fi al-Mishr dan Fi al-Syi’r al-Jahîlî. Dalam bukunya itu, ia sangat terkesan ‘gila’ Barat dengan pernyataan-pernyataannya yang propagandis. Ia mengadakan kajian dan analisis sejarah, hanya karena ingin menunjukkan bahwa Mesir bukanlah Arab, melainkan bagian dari Barat atau Eropa. Maksudnya ia mengajak orang-orang Mesir menjadi ‘orang Barat’ dalam segala hal. Berikut ini adalah pernyataan Thaha Husain dalam bukunya Mustaqbâl al-Tsaqâfah fi al-Mishr :

“Pemikiran orang-orang Mesir semenjak masa dahulu hanya dipengaruhi oleh pemikiran orang-orang Laut Tengah. Jika terjadi proses saling mengisi, maka pertukaran timbal balik tersebut hanya berlangsung dengan bangsa-bangsa yang terdapat di sekitar Laut Tengah saja. Sungguh merupakan kebodohan besar bila kita beranggapan bahwa Mesir adalah bagian dari negara Tengah, serta memandang pemikiran Mesir sama dengan pemikiran India, Cina dan Parsi. Kita harus melangkah seperti orang-orang Eropa melangkah, kita tempuh jalan yang merela lalui, agar kita dapat menjadi teman kerja mereka dalam seni dan peradaban. Untuk itu kita harus selalu bersama mereka dalam hal baik dan buruknya, manis maupun pahitnyadan senang ataupun susahnya. Kita bilang pada mereka, bahwa kita melihat sesuatu sebagaimana mereka melihat, kita luruskan apa yang mereka luruskan dan kita bengkokkan apa yang mereka bengkokkan, serta kita putuskan apa yang mereka putuskan.”[28]

Dari pernyataan Thaha Husain yang terkutip terkutip di atas, dapat dibaca bagaimana ia sangat ‘Barat’ oriented, dan cenderung taqlid buta dengan pemikiran-pemikiran Barat. Baginya peradaban Barat adalah kibat kemajuan kontemporer, dan jika negara-negara Islam ingin terbebas dari kterbelakangannya selama ini, maka jalan keluarnya adalah mengadobsi pola pikir Barat, yang lepas dari beban-beban mistis khas peradaban Timur dan rasional-ilmiah.

Thaha juga mengatakan bahwa posisi Islam sama seperti Kristen di Barat, yang hanya merupakan ajaran spiritual (ruhaniyyah) yang terlepas dari persoalan-persoalan sosio-politik dan peradaban. Ia mengatakan :”Sesungguhnya Islam adalah sesuatu dan politik adalah sesuatu yang lain …”[29]

Pemikir Timur Tengah yang dapat dikategorikan sekuler adalah Salamah Musa, yang pikiran-pikiran sekuleristiknya banyak tertuang dalam bukunya Al-Yaum wa al-Ghad. Ia adalah seorang pemikir yang ide-idenya selalu tampak transparan dan kontroversial. Misalnya, ia berkeyakinan bahwa fenomena alam merupakan sesuatu yang harus terjadi, sesuai dengan hukum alam dan tidak ada hubungannya antara Allah Pencipta alam semesta dan fenomena alam yang ada. Jika ditanya kepadanya, siapakah yang memberi petunjuk (al-Hadi) para petani, maka ia menjawab :”Sesungguhnya sungai Nil adalah ‘zat petunjuk’ mereka kepada pertanian dan dengan sendirinya ia adalah akar peradaban”.[30] 

Lebih dari itu, menurutnya, keimanan seseorang harus disesuaikan dengan perkembangan sains dan teknologi. Konsekuensinya, beberapa istilah dalam agama perlu diubah, seperti kemutlakan perlu diganti dengan kenisbian, ketuhanan menjadi kemanusiaan, konstan menjadi inkonstan, kesucian menjadi tidak suci, irrasional menjadi rasional.[31]

Sama seperti Thaha Husain, dalam pikiran Salamah Musa, Barat adalah peradaban ideal yang baginya adalah ‘segala-galanya’. Keterbelakangan bangsa Arab dan Islam pada umumnya adalah karena pola pikir yang masih mendominasi adalah pola pikir irrasional-mistis-fatalis sebagai imbas dari internalisasi ajaran-ajaran agama, yang dalam hal ini adalah Islam. Kemudian Salamah Musa menemukan kerangka pikir Barat yang lebih manjanjikan karena basis asumsinya (base of assuptions) adalah rasional-obyektif-material.[32]

2. Reformis moderat

Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini bahwa antara turâts dan modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan milik kita; turâts milik orang lampau dan modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.

Gerakan reformistik dalam dunia Arab modern telah dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa’at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad ‘Abduh. `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi “kiri” atau “kanan” dalam madzhab ‘Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus ‘Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam - menjadi fundamentalis.[33]

Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah ‘Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah ‘Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian ‘Ali ‘Abd al-Raziq, kemudian Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari ‘Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).

Untuk lebih jelas lagi kita akan lihat berikut ini, bagaimana sisa-sisa spirit ‘Abduh masih kelihatan dalam pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan para reformis kontemporer. Tentu, dibandingkan dengan aspek keseluruhan dari identitas mereka, spirit ini bukanlah apa-apa. Pada kelompok pertama kita akan melihat dua pemikir kontemporer yang berorientasi kepada pembangunan kembali (rekonstruksi) budaya dan warisan peradaban Arab-Islam; pertama, Dr. M. Imarah, sisa-sisa pengikut setia ‘Abduh yang pernah berguru pada ‘Ali ‘Abd al-Raziq, dan kedua, Dr. Hassan Hanafi, mantan anggota Ikhwan yang pernah teriak-teriak bersama Sayyid Quthb dan kemudian hengkang ke Sorbonne untuk belajar filsafat.

M. Imarah atau kadang diucapkan M. Amarah adalah pemikir Mesir ternama yang mengkonsentrasikan dirinya dalam kajian historis ajaran dan doktrin Islam, terutama yang berhubungan dengan ketatanegaraan dan politik. Bukunya Al-Islâm wa al-Wahdah al-Qawmiyah (Islam dan Persatuan Nasional) yang dicetak 11.000 eksemplar habis terjual hanya dalam masa sepuluh hari. Bukunya yang kedua, Al-Islam wa al-Sulthah al-Diniyah (Islam dan Otoritas Agama) sempat menggoncangkan dan meresahkan masyarakat karena membahas isu sensitif tentang Islam dan permasalahan politik. Meski ia kritis terhadap ‘Ali ‘Abd al-Raziq, gurunya, sebenarnya, ide-ide Muhammad Imarah, khususnya tentang konsep kenegaraan, adalah perpanjangan dari pandangan gurunya tersebut. Ia - juga seperti ‘Abd al-Raziq - menganggap isu negara Islam dan usaha pencarian sistem Islam melalui teks-teks agama adalah masalah ijtihadi.

Dalam Islam sendiri, menurut Imarah[34], tidak ada satu kelompok pun - kecuali Syi’ah mungkin - yang mengklaim dirinya sebagai orang suci, utusan Tuhan dan ma’shum dari kesalahan. Padahal, Imarah berargumen, Nabi saja dalam masalah-masalah keduniaan bisa salah, dengan kata lain, ia tidak ma’shum. Karena itu, selama masalah kenegaraan adalah masalah ijtihadi (penafsiran manusia) dan urusan duniawi, boleh-boleh saja konsep tersebut dipersalahkan.

Jika sekelompok Muslim masa lalu memilih khilafah sebagai satu alternatif sistem politik yang kemudian menjadi mapan, menurut Imarah, bukanlah pilihan teologis. Dengan kata lain, masalah itu hanyalah didorong unsur-unsur kebutuhan mendesak kaum Muslim masa itu yang basis teologisnya - paling kuat - cuma penafsiran. Islam tidak pernah menganjurkan teokrasi. Kalaupun bentuk teokrasi itu kemudian terwujud, sebagaimana klaim sebagian orang, itu hanyalah pengada-adaan sejarah.[35] Ini bukan berarti Imarah berpendapat adanya pemisahan dalam Islam antara yang ukhrawi (masalah akhirat) dan yang duniawi (masalah keduniaan). Tetapi, masalah keduanya itu sangat kompleks, sementara Islam hanya memberikan panduan-panduan dan garis besar-garis besarnya saja.[36]

Dengan penjelasan itu, sebenarnya Imarah ingin menegaskan bahwa persoalan politik dalam Islam harus ditangani secara serius. Keinginan-keinginan sementara kelompok Muslim untuk mendirikan negara Islam bersumber dari tekanan psikologis “orang-orang kalah”. Jika tekanan psikologis itu hilang, dengan sendirinya, tuntutan untuk mendirikan negara Islam semacam itu, nantinya akan turut menghilang. Sisi reformistik dari pandangan Imarah ini adalah keinginan untuk menafsirkan kembali soal-soal yang bersangkutan dengan sistem kenegaraan Islam, tanpa harus membuang otoritas tradisi yang ada.

Setelah membedah pemikiran M. Imarah yang sangat kental dengan gagasan epistemologi dan metodologisnya, maka kini kita melangkah pada gagasan Hassan Hanafi yang lebih banyak berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang dipakai dalam menganalisa relitas sosial dan menafsirkan teks keagamaan. Ia sering mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada metodologi yang dipakainya. Penulis beranggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat Islam (dan Arab), dari keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban yang baru.

Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasâr al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr, yang menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur.[37] Jurnal ini juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Tak pelak lagi, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan Hassan Hanafi dalam meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun, menganggap peristiwa itu sebagai satu-satunya penyebab, adalah tidak benar karena kita juga harus memperhitungkan faktor pergerakan Islam modern dan lingkungan Arab-Islam.[38] Demikian pula, kata Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri.[39]

Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas.[40] Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menjadi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit. 

Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam” (Reconstruction of Islamic Thoughts).[41]

Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat.[42] Pilar pertama adalah revitalisasi khasanah Islam klasik.[43] Hal ini sebagian sudah dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme, karena rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat.[44] Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural Barat, dan dia mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan diulas di akhir makalah ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia (termasuk Islam). Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat realitas dunia kontemporer. 

Jadi, ada tiga pilar atau agenda, yaitu : revitalisasi khasanak klasik (sikap kita terhadap tradisi lama), menentang peradaban Barat (sikap kita terhadap tradisi Barat), dan analisis atas realitas (sikap kita terhadap realitas atau “teori intepretasi”). Dari ketiganya, posisi “ego” (aku, artinya umat Islam) berada di tengah –hal ini akan dibahas kemudian.

Sebelum melangkah pada oksidentalisme, perlu dibahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan Hanafi mengenai tradisi (turâts). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.[45] Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang membebaskan.

Titik tolak Hassan Hanafi adalah realitas Arab saat ini, dan menurutnya adalah keharusan pemecahannya untuk mengakhiri semua hal yang menghambat perkembangan dalam dunia Islam dan Arab. Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Hassan Hanafi mensyaratkan revolusi kemanusiaan sebelum melakukan pembangunan lainnya, sebagai langkah awal dalam mewujudkan kehidupan yang manusiawi.[46] Bahkan, dengan berjilid-jilid buku yang menjadi bagian dari proyeknya adalah usaha untuk mengubah kata “Tuhan” menjadi kata “Manusia”.

Proyek Hassan Hanafi dimaksudkan untuk merekonstruksi, menyatukan, dan mengintepretasikan seluruh ilmu peradaban Islam bedasarkan kebutuhan modern untuk dijadikan sebagai ideologi manusia, untuk menuju kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga bermaksud merekonstruksi tradisi kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di mana wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban.[47] Hanafi sedang mendekonstruksi bangunan pemikiran Islam klasik yang mati fungsi peradabannya, di samping juga mendekonstruksi klaim-klaim universalitas dan hegemoni wacana yang dilakukan Barat, melalui pemikiran dan kebudayaan werternis. Pandangan obyektif dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi adalah bagaimana agenda “oksidentalisme” menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam melihat Barat dan upaya westernasasi.

Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murâkab al-naqîsh) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murâkab al-‘uzmâ) pada pihak the other. Orientalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yang tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan inferioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji.[48] Hanya saja Oksidentalisme kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme.[49]

Pemikiran Hassan Hanafi juga dilandasi oleh penafsiran secara hermeneutik terhadap teks keagamaan (tradisi keilmuan Islam lama) agar didapatkan pemahaman yang hidup dalam memberikan kontribusi bagi pembebasan.[50] Oksidentalisme adalah bagian dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif umat Islam dalam membaca tradisinya sendiri dan tradisi the other. Pemikiran dia juga bermuatan rasional, karena jika masih menggunakan baju konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa. Teks itu adalah barang mati, yang hidup adalah makna (meaning) dan intepretasi baru (significance). Tugas umat Islam adalah bagaimana menghidupkan teks dalam tradisi itu menjadi relevan dan berguna bagi kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi dan juga Muhammad Imarah perlu diapresiasi lebih mendalam, karena mereka adalah pelanjut bagi tradisi pemikiran Islam kontemporer yang kritis, setelah Ibnu Rusyd dan M. Abduh.

3. Tradisional-konservatif atau Ideal Totalistik

Pemikiran Islam tradisional-konservatif lebih dikenal dalam istilah Arab sebagai kelompok ‘salafiyah’. Menurut ‘Abd al-Mun’im al-Hifni, bahwa golongan salafiyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama salaf (al-salâf al-shâlihin), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi pertama, yakni Sahabat Nabi SAW., Tabi’in dan Atba’ Thâbi’în.[51]

Karakteristik pokok kelompok ini antara lain; pertama, argumennya harus jelas diambil dari al-Qur’an dan al-Hadis. Kedua, penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang shahih. Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa dalam konteks aqidah harus bersandar kepada nash-nash saja. Mereka mempercayai dan hanya menerima nash per se, karena itu yang bersumber dari Allah. Adapun rasio hanya berfungsi sebagai pembenar (tashdîq) dan saksi (syâhid), bukan sebagai penentu (hâkimî).[52]

Tipologi kelompok ini diwakili oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim.

Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid’ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlâh al-Islâmiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islamis. Sejarah Islam yang panjang terlalu suram untuk dijadikan model emulasi. Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era kegemilangan Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang identik dengan wanita, minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun ada jasa mereka, tidak lebih dari memasukkan unsur kebid’ahan Yunani lewat apa yang dinamakan falsafah. Dan kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli Islam.[53]

Begitulah kira-kira gambaran umum pandangan kelompok ideal-totalistik dalam melihat kondisi kaum Muslim dan sejarah mereka. Tidak ada batasan yang jelas mana yang historis dan mana yang cuma sebagai doktrin. Kebanyakan dari kelompok pemikiran ini menafikan Islam sebagai peradaban dan akumulasi sejarah kaum Muslim. Kalaupun ada, masanya singkat sekali, yaitu zaman Rasul, atau jika mau diperluas sedikit, zaman Khalifah yang empat dengan sikap yang ketat pada era dua Khalifah yang terakhir. Islam adalah doktrin aqidah sebelum sebagai doktrin peradaban. Nabi adalah sebagai figur terakhir untuk panutan seluruh kerja yang dilakukan kaum Muslim, termasuk di zaman modern ini. Dengan kata lain, sunnah-sunnah Rasul harus dihidupkan untuk era modern. Inilah inti dari kebangkitan Islam.

Figur-figur yang mewakili kelompok ini untuk masa sekarang banyak datang dari Islam Gerakan (Islâm harâkî) atau para pemikir keagamaan yang memiliki dan berafiliasi kepada massa Muslim. Berikut ini, kita akan melihat tiga orang figur ternama yang semuanya secara kebetulan datang dari latar belakang yang sama; pertama Muhammad Quthb, adik kandung Sayyid Quthb yang banyak menulis karya-karya dengan model Islam haraki. Kedua, Anwar Jundi, seorang aktifis yang banyak menuliskan masalah-masalah keislaman dalam jurnal-jurnal berbahasa Arab, dan ketiga, Muhammad Ghazali, seorang ‘alim al-Azhar yang akhir-akhir ini berusaha mencoba menjembatani antara “fundamentalisme” dengan “intelektualisme”.

Muhammad Quthb banyak memiliki kesamaan dengan kakak kandungnya Sayyid Quthb. Bukan hanya karena hubungan darah. Lebih dari itu, dari soal model tulisan hingga cara dan sikap intelektualnya, tidak berbeda dengan Sayyid. Pendeknya, M. Quthb adalah perpanjangan dari figur S. Quthb. Dari karya awal-awalnya al-Insân bayna al-Maddiyyah wa al-Islâm, hingga Jahîliyah al-Qarn al-’Isyrin, M. Quthb - seperti juga S. Quthb - menyatakan perang terhadap ideologi-ideologi dan pandangan-pandangan asing. Dalam kamus intelektualnya, hanya ada dua entry: pertama, Islam (jund Allah, ahbab al-Rasul, al-Muslimun) dan kedua, Jahiliyyah (kuffar, thaghut, al-’ilmaniyyah wa al-maddiyyah). Dua terma dialektis tersebut mengisi hampir seluruh karya-karya Quthb. Dan dua terma tersebut –menurutnya - ada dalam sepanjang sejarah manusia.

Pada masa lampau, Jahiliyyah diwakili oleh kaum Musyrik Makkah dan Yahudi Madinah. Pada era sekarang, ada Jahiliyah al-Qarn al-’Isyrin (Jahiliyyah abad 20/modern).[54] Konsep jahiliyyah yang dipakai M. Quthb adalah terma Qur’ani yang juga sering dipakai oleh Sayyid Quthb dan Abu al-A’la al-Mawdudi’. Muhammad Quthb mendefinisikan jahiliyyah sebagai “kondisi psikologis di mana jiwa menolak petunjuk Tuhan”.[55] Penolakan jiwa atas kebenaran selalu ada di mana-mana dan kapan saja, karena itu jahiliyyah selalu ada sepanjang sejarah. Dalam bentuknya yang paling jelas, Jahiliyyah modern adalah Barat dan para pemimpin thâghut negeri-negeri Muslim yang mengadopsi sistem Barat.[56]

Sejalan dengan Muhammad Quthb, Anwar Jundi meyakini pentingnya dikotomi istilah Islam dan non-Islam. Tekanan yang diberikan Jundi lebih pada aspek intelektual, berbeda dengan Quthb yang lebih menekankan perbedaan Islam-Barat (non-Islam) pada aspek ideologis. Jundi selalu menggunakan istilah pemikiran Islam (al-fikr al-Islami) vis a vis pemikiran Barat (al-fikr al-Gharbi). Pemikiran dan budaya Islam adalah pencapaian Muslim yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ia disebut Islami karena seluruhnya berlandaskan Islam, dari sinilah istilah budaya dan peradaban Islam kemudian digunakan. Pandangan Jundi ini, khususnya sikap kepada pemikiran Islam, jauh berbeda dengan Quthb yang berusaha mereduksi segala jenis pemikiran Islam kepada “Islam”. Untuk yang terakhir ini, Islam adalah alternatif par excellent, sementara pemikiran Islam hanyalah pelengkap yang terkadang banyak membuat distorsi kepada makna Islam. Dalam kumpulan artikelnya, Ithâr al Islâm li al-Fikr al-Mu’âshir, Jundi meyakini adanya pluralitas budaya dan juga peradaban. Setiap budaya sebuah bangsa berbeda dengan budaya bangsa lainnya, karena itu tidak ada yang namanya budaya universal (al-tsaqâfah al-alâmiyyah).[57]

Sedikit agak berbeda dengan Quthb dan Jundi, Muhammad Ghazali adalah intellektual-’alim Arab kontemporer yang mampu berinteraksi dan berantisipasi dengan gerakan-gerakan pemikiran modern dengan pendekatan da’wah bi al-hâl fikran wa manhâjan (pemikiran dan metode). Ia banyak menulis buku-buku bersifat da’wah dengan tujuan pokok menjembatani kaum salafi yang “tertutup” dengan kaum modernis yang “terbuka”. 

Karya pentingnya yang mendapat sambutan luar biasa adalah al-Sunnah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Studi Kritis Hadis Nabi SAW.: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual) di mana, ia mendemonstrasikan keluwesannya dalam memahami warisan hukum Islam. Untuk Ghazali, pemahaman hukum Islam haruslah dilihat secara kontekstual lewat pemahaman universal. Menurutnya, teks-teks agama, Hadits khususnya, bukan hanya milik pakar Hadis yang mempunyai 1001 macam persyaratan penyeleksian satu riwayat, yang juga terlampau tekstual dan terikat pada makna literal sebuah teks. 

Di lain pihak, para fuqaha telah terperangkap ke dalam terma-terma fiqh yang hanya berkonotasi kepada masalah legalitas hukum saja, padahal istilah fiqh itu sendiri berarti pemahaman, dengan seluas-luas maknanya.[58]

Dalam bersikap, Ghazali tampak lebih moderat dan sedikit banyak lebih akomodatif dengan perkembangan pemikiran kontemporer dibanding dengan pemikir-pemikir sealiran dengannya. Kendati demikian, pada skala besar, program yang dicanangkan Ghazali dalam proyek peradabannya adalah juga program yang direalisasi oleh kelompok pemikir yang berkecenderungan ideal-totalistik.

C. Penutup

Demikianlah ketiga trend atau kecenderungan pemikiran Islam Timur Tengah yang mewarnai wacana ilmiah Arab sampai sekarang. Tiga trend pemikiran ini merupakan gambaran global dari visi-visi pemikiran Islam yang ada. Pada dasarnya, setiap trend pemikiran tersebut, jika dikaji lagi secara mendalam, akan muncul varian-varian lain yang lebih komplek. Akan tetapi, kesemuanya berperan dalam menentukan harapan dan obsesi bangsa kawasan Timur Tengah di masa mendatang. Ketiga tipologi tersebut, secara kasar, bisa dilihat dalam perspektif paradigmatis, dimana antara masing-masing kelompok mempunyai bahasa khusus yang berbeda-beda, yang tidak dipahami satu sama lain.

Kalaupun bisa dikomunikasikan, dialog antara mereka sulit untuk saling dimengerti. Itu terjadi misalnya bagaimana usaha kaum liberal dari kalangan transformatik menyatukan kelompok-kelompok yang sekular dengan kelompok religius, atau antara kelompok modernis dengan kelompok tradisionalis. Tak pelak, mereka pun menciptakan paradigma ketiga yang juga memiliki kosa kata tersendiri. Begitu juga dengan kelompok-kelompok lain, meski mereka mengklaim dengan proyek peradabannya, bahwa merekalah yang paling compatable dengan kondisi dunia Islam Timur Tengah, sebenarnya mereka telah terperangkap ke dalam kerangka epistemik yang pada akhirnya mengarah pada dogmatisme (untuk menghindari istilah sektarianisme).

Tipologi pemikiran Arab kontemporer seperti yang diilustrasikan di atas adalah refleksi dari interaksi dan sikap para intelektual Arab terhadap isu di sekitar tradisi dan modernitas. Sikap tersebut kemudian memunculkan - di samping discourse baru menyangkut isu tradisi dan modernitas - idiom-idiom dan istilah baru dalam kamus pemikiran Arab yang sebelumnya tidak begitu menyita perhatian.
Jadi, pengkajian ketiga tren pemikiran dalam tulisan ini merupakan upaya awal untuk memetakan dan memahami karakteristik pemikiran Islam yang sangat beragam. Dengan demikian, setiap pemikir akan bisa dianalisis, masuk dalam kategori apakah proyek pemikiran dia, salafi (total idealistik), sekuler, atau reformis moderat?

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hifni, Abd. al-Mun’in, Mausǔ’ah al-Furǔq wa al-Jamâ’at wa al-Madzâhib al-Islâmiyah, Kairo : Dar al-Rasyad, 1993

Abdullah, Amin, “Al-Ta’wīl Al-‘Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, dalam al-Jami’ah : Journal of Islamic Studies, Volume 39, Number 2, July-Desember 2001

Al-Ghazali, Muhammad, Studi Kritis Hadis Nabi SAW.: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung : Mizan, 1998

Assyaukanie, Luthfi, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume I, Nomor 1, Juli-Desember 1998

Boullata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta : LKIS, 2001

Hanafi, Hasan, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta : LKIS, 2001

____________, “Kata Pengantar”, dalam Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Ainul Abied Shah (ed.), Bandung : Mizan, 2001

____________, Al-Turâts wa al-Tajdīd, Mauqifuna min Al-Turâts Al-Qadĭm, Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’ah li Al-Dirasah wa Al-Nasyw wa Al-Tauzi’, 1992

____________, Oksidentalisme, Sikap kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta : Paramadina, 2000

Hourani, Albert, Pemikiran Liberal Islam Timur Tengah, Bandung : Mizan, 2005

Husaîn, Thâhâ, Mustaqbâl al-Tsaqâfah fi al-Mishr, Kairo : Dar al-Ma’ârif, t.t

Imarah, Muhammad, Al-‘Almâniyyah baina al-Gharb wa al-Islâm, Kuwait : Dar al-Da’wah, 1996

_________________, Al-Islâm baina al-Tanwīr wa al-Tazwīr, Kairo : Dar al-Syurũq, 1995

_________________, Al-Islam wa Sulthah al-Dinīyyah, Beirut : Dâr al-Shahwah, 1980

_________________, Salamah Mūsa, Kairo : Dâr al-Shahwah, 1995

Laroui, Abdullah, Al-`Arab wa al-Fikr al-Tarīkhi, Beirut : Dâr al-Fikr, 1978

Majalah Tempo, No. 14/XXX/4-11 Juni 2001.

Musa, Salamah, Al-Yaum wa al-Ghad, Kairo : ttp., 1928

Nasution, Harun, Filsafat dan Misticisme, Jakarta : Bulan Bintang, 1973

Quthb, Muhammad, Jahīliyah al-Qarn al-’Isyrin, Kairo : Maktabah Wahbah, 1964

Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi Bandung: Teraju, 2002

Tayzini, Thayyib, Min al-Turâts ila al-Tsaurah, Beirut : Dâr-al-Fikr, 1978

Voll, John Obert, Politik Islam : Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, penterjemah Ajat Sudrajat, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997

Wahbah, Murad, Ushûliyyah wa al-‘Almâniyyah, Kairo : Dâr al-Tsaqâfah, 1991

Wijaya, M. Yusuf, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman : Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur Tengah”, dalam Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Ainul Abied Shah (ed.), Bandung : Mizan, 2001

Yusuf, Taufiq, Auham al-‘Almâniyyah hauna al-Risâlah wa al-Manhâj, Manshûrah : Dâr al-Wafâ, 1988