PEMETAAN DAN DISKURSUS PEMIKIRAN ISLAM
TIMUR TENGAH ERA MODERN
A. Pendahuluan
Perkembangan pemikiran keislaman
sepanjang sejarah telah menunjukkan adanya varian-varian. Varian itu
berupa semacam metodologi, kerangka berpikir dan orientasi yang
berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lainnya.
Fenomena seperti ini pada dasarnya sudah muncul sejak zaman Rasul Saw.
dan al-Khulafâ al-Râsyidûn. Pada masa itu sudah ada kecenderungan
pemikiran yang jika dipetakan memunculkan madrasah hadîst di satu sisi
dan madrasah ra’yî pada sisi lain[1]. Tetapi perbedaan yang tampak saat
itu tidak begitu mencolok. Lain halnya mulai masa Dinasti Ummayah dan
Dinasti Abasiyyah, madrasah hadîst dan madrasah ra’yî tampil begitu
mencolok dalam panggung sejarah pemikiran dengan seperangkat metodologi
dan landasan epistemologisnya.
Runtuhnya kekhalifahan Turki
Usmani yang diakibatkan oleh kolonialisme Barat, telah mempengaruhi
perkembangan pemikiran keislaman hingga tampil lebih variatif.
Kolonialisme telah cukup lama mengendalikan sendi-sendi kehidupan di
negara-negara Islam, termasuk denyut kehidupan intelektualisme dunia
Islam. Kolonialisme membuat kondisi umat Islam dilemahkan (mustadh’âf)
di sektor pemikiran keislaman, sehingga yang muncul adalah kebekuan cara
berfikir umat dan merajalelanya tradisi taqlid. Kondisi ini yang
mendorong lahirnya gerakan-gerakan pemikiran baru yang masing-masing
menawarkan diri sebagai gerakan pemikiran alternatif.
Kebekuan pemikiran Islam jika
dirunut jauh ke belakang sampai penggalan sejarah Islam zaman
pertengahan di mana pemikiran Islam kritis dan rasional pasca Ibnu Rusyd
terasa mati karena pintu ijtihad telah ditutup dan rasionalisme dikunci
oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak
pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi
hukuman mati dan fatwa kafir (takfîr) karena dianggap filsafat adalah
produk bid’ah yang datang bukan dari Islam.
Banyak referensi mencatat bahwa
hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan
mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya, Tahâfut al-Falâsifah
(Kerancuan atas Para Filosof) [2]. Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi
(257 H/870 M), adalah dua filosof muslim yang menjadi obyek kritikan
keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika
pemikiran metafisika (ketuhanan).
Gema tertupnya pintu ijtihad
tidak menghalangi gelombang kesadaran umat untuk mendobrak pintu itu dan
memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Masih sejalur
dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan pemikiran secara
dikotomis menempati aras ahlu al-hadîs dan ahlu ar-ra’yî, walau dalam
konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam
varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan
pemikiran alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian
modern. Tak jarang yang muncul kemudian adalah perdebatan yang tidak
sebatas perang wacana (clash of discourse) tapi juga pergesekan dalam
ranah politik (clash of politic). Sehingga fenomena saling hujat antar
sesama pemikir Muslim tidak bisa dihindari lagi.
Pada klimaksnya, masing-masing
kubu yang bertikai itu tak jarang menggunakan cara-cara kekerasan
(radikalisme) sebagai senjata untuk membungkam gerakan lawan. Sejarah
telah mencatat itu, misalnya gerakan radikalisme di Mesir yang dilakukan
oleh kaum fundamentalis, di Al-Jazair dan demikian pula di Turki.
Tulisan sederhana ini adalah
sebuah upaya pemetaan pemikiran yang berkembang di Timur Tengah yang
sekaligus menganalisis wacana yang diusung, dalam rangka mengetengahkan
potret intelektualisme Timur Tengah secara utuh dan obyektif. Peta
sekaligus analisis wacana dalam dataran berikutnya dapat memberi
inspirasi untuk melakukan kritik (naqd) dan sekaligus rekonstruksi
(i’âdah buniyat min jadîd) atas pemikiran yang sudah ada. Dan di sinilah
starting poin proyek pengembangan pemikiran Islam di masa-masa
mendatang.
B. Batasan Istilah untuk “Pemikiran Islam” dan “Timur Tengah”
Pemikiran Islam adalah hasil
dari proses berfikir secara mendalam (filosofis) dengan menggunakan
kerangka berfikir dan metodologi tertentu oleh seorang yang disebut
pemikir Muslim, yang obyek studinya adalah Islam (sebagai sumber
pengetahuan)[3]. Mungkin definisi ini terlalu mengesampingkan fakta
empirik, bahwa tidak selamanya pemikiran lahir melalui proses berfikir
metodologis yang biasa terjadi dalam tradisi berfikir irfâni, dengan
intuisi (dhauq) sebagai basis metodenya[4].
Sejarah pemikiran adalah sejarah
para pemikir, begitu tulis Luthfi Assyaukani,[5] sejarah kaum elit yang
dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala
lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah.. Istilah “pemikir” itu
sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja yang memiliki
spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan lain untuk
“intelektual” dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih
filosofis kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti
philosopher, thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur
terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang
jelas satu dengan yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa
philosopher - karena faktor sejarahnya- adalah istilah yang paling
signifikan untuk mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang.
Gambaran tentang istilah pemikir
di atas dimaksudkan untuk memberi acuan dan batasan tentang pemikir dan
pemikiran serta aplikasinya dalam tulisan ini. Dalam peta dan analisis
wacana pemikiran Timur Tengah yang akan terpapar dalam tulisan ini, ada
sekelompok pemikir yang berpengaruh hanya karena tulisan-tulisannya, ada
yang namanya lebih terkenal dari pemikirannya, dan ada pemikir yang
hanya terkenal sebatas di dunia akademis.
Istilah “Timur Tengah”
sebagaimana kata Hasan Hanafi,[6] adalah ungkapan bahasa Inggris (Middle
East). Karena, menurut dia, negara-negara Arab adalah “Timur Tengah”
jika dibandingkan dengan Cina atau “Timur Jauh”, dan negara Arab kawasan
Barat (Maghribi, Maroko dan sekitarnya), adalah “Timur Dekat” bagi
orang Inggris. Sebagaimana Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara
bagi Orang Barat dan berada di kawasan Barat daya bagi orang Timur. Jadi
Istilah Timur Tengah dalam tulisan ini adalah nama untuk kawasan
negara-negara Arab (Mesir, Arab Saudi, Iraq, Iran dan sekitarnya).
Tipologi Pemikiran Islam Timur Tengah
Berakhirnya kolonialisme dan
imperalisme Barat di negara-negara Islam, telah mengetuk kesadaran umat
akan keterbelakangan, kebodohan, kejumudan dan ketertindasan. Kesadaran
ini lebih terasa lagi ketika diingat bahwa lintasan sejarah Islam pernah
menorehkan tinta emas peradabannya. Islam pernah berada dalam posisi
terdepan dalam penggung peradaban dunia, berbarengan dengan
keunggulannya di pelbagai dimensi kehidupan ; ekonomi, Iptek, militer,
politik dan sebagainya.
Umat Islam belum sempat bangkit
dari keterpurukannya akibat kolonialisme, krisis Timur Tengah kembali
mencuat dengan munculnya konflik Arab-Israel. Pukulan telak menimpa
dunia Islam setelah Israel berhasil “memenangkan” konflik itu yang
membuat mereka bertanya-tanya : what’s wrong dengan sekumpulan negara
besar yang mempunyai jumlah tentara dan peralatan yang cukup memadai
dipaksa kalah oleh Israel - negara kecil dengan tidak lebih dari tiga
juta penduduknya? Pada tahun 1967 dianggap sebagai “penggalan”
(qathi’ah) dari keseluruhan wacana Arab modern,[7] karena masa itulah
yang mengubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa problem
sosial-budaya yang dihadapinya. Inilah awal mula apa yang dinamakan
kritik-diri yang kemudian direfleksikan dalam wacana-wacana keilmiahan,
baik dalam ranah akademis maupun literatur-literatur ilmiah lainnya.
Langkah pertama yang dilakukan
oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan
(tafsir al-azmah) tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan
adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada
capaian modernitas. Karena itu, pertanyaan yang mereka ajukan adalah;
bagaimana seharusnya sikap bangsa Arab dalam menghadapi tantangan
modernitas dan tuntutan tradisi?[8] Telah lebih dari dua dekade, masalah
tersebut terus dibicarakan dan didiskusikan dalam seminar-seminar,
dalam bentuk buku, artikel dan publikasi lainnya.
Lalu masalah tersebut menjadi
common denominator untuk setiap intelektual Arab yang peduli terhadap
masalah kearaban dan keislaman. Persoalan itu sebenarnya bukan tidak
pernah dibahas oleh pemikir-pemikir Arab sebelumnya. Secara implisit,
topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad ‘Abduh dan ‘Abd
al-Rahman Kawâkibi.[9] Namun sebagai satu wacana epistemik, masalah
tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir. Lebih
dari itu semua, masalah tradisi dan modernitas telah menjadi agenda
penting untuk proyek peradaban pemikiran Arab berikutnya.
Gerakan-gerakan pemikiran Islam
di Timur Tengah muncul dan berkembang dari latar belakang situasi
sosio-politik seperti tergambar di atas. Gerakan-gerakan itu dalam
tataran idealisme, berada dalam aras persepsional yang sama antara
gerakan pemikiran satu dengan yang lain, tetapi dalam tataran corak atau
aksentuasi intelektualitas dan orientasi mereka berbeda, bahkan dalam
banyak kasus bertolak belakang.
Issa J. Boullata membagi
pemikiran Islam Timur Tengah menjadi dua kecenderungan, yaitu
progresif-modernis dan konservatif-tradisionalis. Menurutnya, kelompok
progresif-modernis adalah gerakan pemikiran yang mengidealkan tatanan
masyarakat Arab yang modern, dengan kata lain, gerakan pemikiran yang
berorientasi ke masa depan (future oriented). Pola berfikir mereka tidak
keluar dari frame metodologi Barat yang mereka klaim sebagai
satu-satunya alternatif untuk membangun peradaban Arab modern.
Gerakan pemikiran ini secara
mayoritas diwakili oleh kalangan yang pernah belajar dan berinteraksi
dengan pemikiran Barat. Adapun kelompom konservatif-tradisional adalah
gerakan pemikiran yang memiliki pola pikir dengan frame klasik (salaf).
Mereka sangat membanggakan kemajuan dan kejayaan Islam masa lampau, dan
untuk membangun kamajuan dan kejayaan peradaban Islam masa mendatang,
pemikiran Islam harus berbasis metodologi pemikiran Islam klasik (past
oriented).[10]
Muhammad Imarah sedikit berbeda
dengan Issa J. Boullata dalam memetakan pemikiran Islam Timur Tengah.
Imarah membagi kecenderungan pemikiran Islam Timur Tengah dalam tiga
varian, yaitu: Pertama, tradisional-konservatif; kedua, reformis
(al-ishlah wa al-tajdid); dan ketiga, sekuler.[11] Luthfi as-Syaukanie
dalam bahasa yang berbeda membagi antara tipologi transformatik,
reformistik dan ideal-totalistik. Transformatik untuk kelompok sekuler,
dan total idealistik untuk kelompok tradisional-konservatif.[12] Secara
lengkap pemetaan wacana pemikiran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Transformatik sekuler
Dalam bahasa Arab, istilah
sekuler disebut al’almāniyyah dari asal kata al-‘alam. Dalam baha latin,
istilah sekuler berasal dari kata saekulum, yang berarti ‘alam’ dan
diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi oeon, yaitu masa atau skala
waktu.[13] Dalam Mu’jam al-Ulum al-Ijtima’iyah, istilah sekuler berasal
dari bahasa Inggris, secularism, yang berarti dunia, alam atau realitas.
Pengertian ini menjadikan istilah sekuler berlawanan dengan istilah
‘kekudusan’, yaitu agama, pendeta, wakil dari langit, monopoli kekuasaan
Tuhan dan sebagainya.[14]
Ketika berbicara tentang
sekularisme dalam kontek diskursus pemikiran Islam Timur Tengah, maka
tidak terlepas dari terminologi dan kesejarahan sekularisme di Barat.
Karena pada dasarnya, sekularisme adalah pola berfikir atau model
pendekatan yang diimpor dari Barat.[15] Di kalangan para pemikir Muslim
sendiri terjadi perbedaan persepsi dalam memandang sekularisme, dilihat
dari sudut manfaatnya sebagai faham atau perspektif dan metodologi dalam
mencandra realitas atau problem masyarakat. Sebagian memandang
sekularisme cenderung - bahkan sama sekali – menjerumuskan pada kondisi
antrophosentistik yang menjauhkan umat dari agamanya. Sebagian yang lain
memandang sekularisme sebagai perspektif alternatif untuk mengurai dan
menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan.
Tipologi
transformatik-sekularistik mewakili para pemikir Arab yang secara
radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari
budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah.
Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak
berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu
sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang.[16] Karena itu,
harus ditinggalkan. Dengan kata lain, pemikir tipe ini menggeser
dominasi agama (konservatisme agama) yang selama ini menjadi perspektif
tunggal dalam memandang persoalan kehidupan, diganti dengan kekuatan
rasio, yang menurut mereka yang mampu mengendalikan semua dimensi
kehidupan.[17]
Para pemikir Arab yang mempunyai
kecenderungan transformatik-sekuler kebanyakan berorientasi kepada
Marxisme. Afiliasi mereka kepada Marxisme bukan pada dimensi ideologi
politik, tetapi lebih pada aspek intelektualnya. Dan berikut ini akan
kita simak pandangan-pandangan dua pemikir Marxis Arab, Thayyib Tayzini
dan Abdullah Laroui[18] tentang problem dunia Arab kontemporer. Juga
akan dipaparkan secara sekilas pemikir sekuler-transformatik yang
non-Marxis, yakni Thaha Husain dan Salamah Musa.
Thayyib Tayzini adalah seorang
profesor ternama di universitas Damaskus, Syria. Gelar doktor filsafat
diraihnya dari universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman. Ia dikenal dengan
proyek peradabannya, Masyru Ru’yah Jadîdah li al-Fikr al-Arâbi min
al-’Ashr al-Jahîlî hatta al-Marhalah al-Mu’âshirah (Proyek Visi Baru
Pemikiran Arab dari Era Jahiliyyah Hingga Modern). Proyek ini akan
ditulisnya dalam dua belas jilid buku, dua di antaranya telah
diterbitkan, yaitu Min al-Turâts ila al-Tsawrah: Hawla Nazhâriyyat
al-Muqtarâhah fi Qadîyah al-Turâts al-Arâbi, dan Al-Fikr al-Arâbi fi
Bawâkirih wa Afâqih al-Ūlâ. Proyek besar Tayzini ini mungkin hanya bisa
disejajarkan dengan proyek Hassan Hanafi (al-Turâts wa al-Tajdîd) dan
Mohammed Abid Jabiri (Naqd al-’Aql al-’Arâbî).[19]
Judul yang diberikan oleh
Tayzini untuk bukunya yang pertama merefleksikan pandangan-pandangan
Marxismenya, sekaligus memberi pesan transformatif dari turâts kepada
revolusi. Revolusi yang dimaksudkan di sini tentulah revolusi ala Marx.
Ia mengkritik para pemikir Arab lain yang membaca turâts secara tidak
proporsional, menurut istilahnya, tidak historis (ahistoris/la tarîkhî)
dan tidak turâtsî (aheritagial/la turâtsi).[20]
Turâts , menurut Tayzini, harus
didekati secara historis dan harus dilihat dalam konteks hubungan
dialektis antara masalah sosio-ekonomi dengan kondisi politik dalam
sebuah masyarakat. Unsur seperti ini, terutama yang disebutkan terakhir
sangat berperan dalam membentuk turâts manusia, yang kemudian -disadari
atau tidak- mendapat justifikasi ontologis. Karenanya, untuk membebaskan
turâts dari penafsiran-penafsiran subjektif, ia harus diletakkan dalam
kerangka historisisme, “karena sebenarnya, turâts itu sendiri adalah
sejarah”.[21]
Warna Marxisme Tayzini terasa
sangat kental ketika ia menghubungkan turâts dengan revolusi buruh.
Tanpa ragu-ragu ia namakan teorinya al-jadâliyah al-tarîkhîyah
al-turâtsiyah (dialektiko histo-turâtsi), yang bertujuan menciptakan
revolusi turâts dalam bentuk sosialisme ilmiah. Teori ini menegaskan
bahwa revolusi budaya tidak mungkin terjadi dalam kekosongan relasi
sosial (a vacuum of social relations), seperti yang kini melanda bangsa
Arab. Seperti diketahui, bangsa Arab dikuasai oleh kelas
borjuis-feodalis yang secara ekonomi tidak mampu berdiri sendiri. Mereka
sangat bergantung kepada kekuatan kapitalis Barat. Secara ideologis,
hal tersebut menjadikan para borjuis itu malas atau enggan untuk
menciptakan revolusi sosial. Inilah kekosongan relasi itu, bukan hanya
antara kelas, tetapi juga antara pemilik modal dengan peninggalan turâts
. Sementara kaum buruh (baca: massa) mempunyai keterkaitan emosional
yang erat dengan turâts mereka.[22]
Masih dalam paradigma Marxisme
tetapi berbeda sudut pandang, Abdullah Laroui membuat sintesa yang
hampir mirip dengan Tayzini. Pemikir Maroko ini percaya penuh dengan
metode historisisme. Dua buah bukunya la crise des intellectuels arabes:
traditionalisme ou historicisme,[23] dan L’ideologie arabe
contemporaine[24] adalah kritik historis atas tradisi dan diskursus
intelektual Arab tentang turâts. Berbeda dengan Tayzini yang tidak
membedakan antara turâts dengan sejarah, Laroui melihat turâts sebagai
satu bentuk tradisionalisme yang harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak
akan berubah selama golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah
cara pandang mereka terhadap turâts . Mereka tidak akan maju selama cara
berpikir dan orientasi mereka ke masa lalu.[25]
Laroui menolak pendekatan yang
dilakukan baik oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis
(sekular). Menurutnya, kelompok tradisionalis melihat turâts secara
ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah menganggap turâts
sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala kondisi.
Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu
juga kaum modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut
eklektis yang memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat
-budaya orang lain. Sikap seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi
bangsa Arab, malah akan menjadikan bangsa itu terus bergantung kepada
Barat.
Kedua kelompok tersebut, menurut
Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka
hidup terpisah dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin
menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya
ingin menjadikan orang lain (Barat) sebagai model yang lain.
Kedua-duanya - mengambil masa lalu atau mengambil orang lain - adalah
tindakan yang tidak kreatif.[26]
Persoalan tersebut, menurut
Laroui, hanya dapat diatasi dengan memperkaya diri berpikir kritis dan
historis. Ia melihat, metode berpikir historis (historisisme) hanya
dapat dijumpai pada Marxisme dengan teori dialektika historisnya. Karena
itu, mempelajari Marxisme demi mencapai level berpikir kritis dan
historis harus diberi prioritas. Bukan hanya itu, Marxisme telah dengan
rapi menghubungkan masalah-masalah tersebut dengan persoalan ekonomi,
sosial dan politik. Ini sangat cocok dan sejalan dengan dunia Arab
kontemporer.[27]
Kritik Tayzini dan Laroui dalam
beberapa hal adalah juga kritik para intelektual Arab lainnya.
Masalahnya bagaimana memberikan metode dan pendekatan yang baik dalam
menyampaikan kritik tersebut. Alternatif Marxisme yang diajukan keduanya
bukan tidak mendapat kritik dari kalangan pemikir lain. Di samping
polanya yang sudah usang, metode Marxisme, dipandang oleh para kritikus
Tayzini dan Laroui, sebagai contoh sederhana kegagalan sebuah metode.
Apalagi dengan melihat kasus Uni Soviet dan negara-negara yang
mempraktekkan sistem itu. Teori Tayzini dan Laroui tampak tidak
mempunyai tempat di banyak hati intelektual Arab.
Pemikir yang juga cenderung
sekuler di luar dua pemikir di atas adalah Thaha Husain (1883-1973).
Proyek pemikirannya yang paling kontroversial terdapat dalam bukunya,
Mustaqbâl al-Tsaqâfah fi al-Mishr dan Fi al-Syi’r al-Jahîlî. Dalam
bukunya itu, ia sangat terkesan ‘gila’ Barat dengan
pernyataan-pernyataannya yang propagandis. Ia mengadakan kajian dan
analisis sejarah, hanya karena ingin menunjukkan bahwa Mesir bukanlah
Arab, melainkan bagian dari Barat atau Eropa. Maksudnya ia mengajak
orang-orang Mesir menjadi ‘orang Barat’ dalam segala hal. Berikut ini
adalah pernyataan Thaha Husain dalam bukunya Mustaqbâl al-Tsaqâfah fi
al-Mishr :
“Pemikiran orang-orang Mesir
semenjak masa dahulu hanya dipengaruhi oleh pemikiran orang-orang Laut
Tengah. Jika terjadi proses saling mengisi, maka pertukaran timbal balik
tersebut hanya berlangsung dengan bangsa-bangsa yang terdapat di
sekitar Laut Tengah saja. Sungguh merupakan kebodohan besar bila kita
beranggapan bahwa Mesir adalah bagian dari negara Tengah, serta
memandang pemikiran Mesir sama dengan pemikiran India, Cina dan Parsi.
Kita harus melangkah seperti orang-orang Eropa melangkah, kita tempuh
jalan yang merela lalui, agar kita dapat menjadi teman kerja mereka
dalam seni dan peradaban. Untuk itu kita harus selalu bersama mereka
dalam hal baik dan buruknya, manis maupun pahitnyadan senang ataupun
susahnya. Kita bilang pada mereka, bahwa kita melihat sesuatu
sebagaimana mereka melihat, kita luruskan apa yang mereka luruskan dan
kita bengkokkan apa yang mereka bengkokkan, serta kita putuskan apa yang
mereka putuskan.”[28]
Dari pernyataan Thaha Husain
yang terkutip terkutip di atas, dapat dibaca bagaimana ia sangat ‘Barat’
oriented, dan cenderung taqlid buta dengan pemikiran-pemikiran Barat.
Baginya peradaban Barat adalah kibat kemajuan kontemporer, dan jika
negara-negara Islam ingin terbebas dari kterbelakangannya selama ini,
maka jalan keluarnya adalah mengadobsi pola pikir Barat, yang lepas dari
beban-beban mistis khas peradaban Timur dan rasional-ilmiah.
Thaha juga mengatakan bahwa
posisi Islam sama seperti Kristen di Barat, yang hanya merupakan ajaran
spiritual (ruhaniyyah) yang terlepas dari persoalan-persoalan
sosio-politik dan peradaban. Ia mengatakan :”Sesungguhnya Islam adalah
sesuatu dan politik adalah sesuatu yang lain …”[29]
Pemikir Timur Tengah yang dapat
dikategorikan sekuler adalah Salamah Musa, yang pikiran-pikiran
sekuleristiknya banyak tertuang dalam bukunya Al-Yaum wa al-Ghad. Ia
adalah seorang pemikir yang ide-idenya selalu tampak transparan dan
kontroversial. Misalnya, ia berkeyakinan bahwa fenomena alam merupakan
sesuatu yang harus terjadi, sesuai dengan hukum alam dan tidak ada
hubungannya antara Allah Pencipta alam semesta dan fenomena alam yang
ada. Jika ditanya kepadanya, siapakah yang memberi petunjuk (al-Hadi)
para petani, maka ia menjawab :”Sesungguhnya sungai Nil adalah ‘zat
petunjuk’ mereka kepada pertanian dan dengan sendirinya ia adalah akar
peradaban”.[30]
Lebih dari itu, menurutnya,
keimanan seseorang harus disesuaikan dengan perkembangan sains dan
teknologi. Konsekuensinya, beberapa istilah dalam agama perlu diubah,
seperti kemutlakan perlu diganti dengan kenisbian, ketuhanan menjadi
kemanusiaan, konstan menjadi inkonstan, kesucian menjadi tidak suci,
irrasional menjadi rasional.[31]
Sama seperti Thaha Husain, dalam
pikiran Salamah Musa, Barat adalah peradaban ideal yang baginya adalah
‘segala-galanya’. Keterbelakangan bangsa Arab dan Islam pada umumnya
adalah karena pola pikir yang masih mendominasi adalah pola pikir
irrasional-mistis-fatalis sebagai imbas dari internalisasi ajaran-ajaran
agama, yang dalam hal ini adalah Islam. Kemudian Salamah Musa menemukan
kerangka pikir Barat yang lebih manjanjikan karena basis asumsinya
(base of assuptions) adalah rasional-obyektif-material.[32]
2. Reformis moderat
Secara umum, tipologi
reformistik adalah kecenderungan yang meyakini bahwa antara turâts dan
modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi
keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal
dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan
milik kita; turâts milik orang lampau dan modernitas milik Barat.
Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, dan membuang
kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana
mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan
standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.
Gerakan reformistik dalam dunia
Arab modern telah dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim
rasionalis semenjak Rifa’at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam diri
Muhammad ‘Abduh. `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada
sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi “kiri” atau
“kanan” dalam madzhab ‘Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus
‘Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan
juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka
ajaran sang imam - menjadi fundamentalis.[33]
Gerakan reformistik adalah
proses evolusi madrasah ‘Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah
‘Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian ‘Ali ‘Abd al-Raziq, kemudian
Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan
semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan
kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan
mata-rantainya: dari ‘Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan
al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).
Untuk lebih jelas lagi kita akan
lihat berikut ini, bagaimana sisa-sisa spirit ‘Abduh masih kelihatan
dalam pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan para reformis
kontemporer. Tentu, dibandingkan dengan aspek keseluruhan dari identitas
mereka, spirit ini bukanlah apa-apa. Pada kelompok pertama kita akan
melihat dua pemikir kontemporer yang berorientasi kepada pembangunan
kembali (rekonstruksi) budaya dan warisan peradaban Arab-Islam; pertama,
Dr. M. Imarah, sisa-sisa pengikut setia ‘Abduh yang pernah berguru pada
‘Ali ‘Abd al-Raziq, dan kedua, Dr. Hassan Hanafi, mantan anggota Ikhwan
yang pernah teriak-teriak bersama Sayyid Quthb dan kemudian hengkang ke
Sorbonne untuk belajar filsafat.
M. Imarah atau kadang diucapkan
M. Amarah adalah pemikir Mesir ternama yang mengkonsentrasikan dirinya
dalam kajian historis ajaran dan doktrin Islam, terutama yang
berhubungan dengan ketatanegaraan dan politik. Bukunya Al-Islâm wa
al-Wahdah al-Qawmiyah (Islam dan Persatuan Nasional) yang dicetak 11.000
eksemplar habis terjual hanya dalam masa sepuluh hari. Bukunya yang
kedua, Al-Islam wa al-Sulthah al-Diniyah (Islam dan Otoritas Agama)
sempat menggoncangkan dan meresahkan masyarakat karena membahas isu
sensitif tentang Islam dan permasalahan politik. Meski ia kritis
terhadap ‘Ali ‘Abd al-Raziq, gurunya, sebenarnya, ide-ide Muhammad
Imarah, khususnya tentang konsep kenegaraan, adalah perpanjangan dari
pandangan gurunya tersebut. Ia - juga seperti ‘Abd al-Raziq - menganggap
isu negara Islam dan usaha pencarian sistem Islam melalui teks-teks
agama adalah masalah ijtihadi.
Dalam Islam sendiri, menurut
Imarah[34], tidak ada satu kelompok pun - kecuali Syi’ah mungkin - yang
mengklaim dirinya sebagai orang suci, utusan Tuhan dan ma’shum dari
kesalahan. Padahal, Imarah berargumen, Nabi saja dalam masalah-masalah
keduniaan bisa salah, dengan kata lain, ia tidak ma’shum. Karena itu,
selama masalah kenegaraan adalah masalah ijtihadi (penafsiran manusia)
dan urusan duniawi, boleh-boleh saja konsep tersebut dipersalahkan.
Jika sekelompok Muslim masa lalu
memilih khilafah sebagai satu alternatif sistem politik yang kemudian
menjadi mapan, menurut Imarah, bukanlah pilihan teologis. Dengan kata
lain, masalah itu hanyalah didorong unsur-unsur kebutuhan mendesak kaum
Muslim masa itu yang basis teologisnya - paling kuat - cuma penafsiran.
Islam tidak pernah menganjurkan teokrasi. Kalaupun bentuk teokrasi itu
kemudian terwujud, sebagaimana klaim sebagian orang, itu hanyalah
pengada-adaan sejarah.[35] Ini bukan berarti Imarah berpendapat adanya
pemisahan dalam Islam antara yang ukhrawi (masalah akhirat) dan yang
duniawi (masalah keduniaan). Tetapi, masalah keduanya itu sangat
kompleks, sementara Islam hanya memberikan panduan-panduan dan garis
besar-garis besarnya saja.[36]
Dengan penjelasan itu,
sebenarnya Imarah ingin menegaskan bahwa persoalan politik dalam Islam
harus ditangani secara serius. Keinginan-keinginan sementara kelompok
Muslim untuk mendirikan negara Islam bersumber dari tekanan psikologis
“orang-orang kalah”. Jika tekanan psikologis itu hilang, dengan
sendirinya, tuntutan untuk mendirikan negara Islam semacam itu, nantinya
akan turut menghilang. Sisi reformistik dari pandangan Imarah ini
adalah keinginan untuk menafsirkan kembali soal-soal yang bersangkutan
dengan sistem kenegaraan Islam, tanpa harus membuang otoritas tradisi
yang ada.
Setelah membedah pemikiran M.
Imarah yang sangat kental dengan gagasan epistemologi dan
metodologisnya, maka kini kita melangkah pada gagasan Hassan Hanafi yang
lebih banyak berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang
banyak mengkritik Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang
dipakai dalam menganalisa relitas sosial dan menafsirkan teks keagamaan.
Ia sering mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada metodologi yang
dipakainya. Penulis beranggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan
olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat Islam (dan Arab), dari
keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual
menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban
yang baru.
Hassan Hanafi meluncurkan jurnal
berkalanya Al-Yasâr al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri
Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981.
Jurnal ini merupakan kelanjutan dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr,
yang menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan kolonialisme dan
keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta
mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur.[37]
Jurnal ini juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun
1979. Tak pelak lagi, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan
Hassan Hanafi dalam meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun,
menganggap peristiwa itu sebagai satu-satunya penyebab, adalah tidak
benar karena kita juga harus memperhitungkan faktor pergerakan Islam
modern dan lingkungan Arab-Islam.[38] Demikian pula, kata Hassan Hanafi,
Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karena itu berarti menafikan
makna revolusioner dalam Islam sendiri.[39]
Kiri Islam lahir dari kesadaran
penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan
rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar
dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini
adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional
yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas
kekuasaan yang menindas.[40] Upaya rekonstruksi ini diawali dengan
menjaga jarak terhadap Asy’arisme, pemikiran keagamaan resmi yang telah
bercampur dengan tasawuf dan menjadi ideologi kekuasaan, serta
mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan
ilham dari langit.
Hassan Hanafi lebih welcome
dengan Mu’tazilah versi Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan
akal untuk mencapai pengetahuan dan kebebasan berinisiatif dalam
perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis oleh Al-Kawakibi dalam
menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan dan
memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas
Muhammad Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan
dalam Islam” (Reconstruction of Islamic Thoughts).[41]
Secara singkat dapat dikatakan,
Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan
Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat.[42] Pilar pertama adalah
revitalisasi khasanah Islam klasik.[43] Hal ini sebagian sudah
dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan Hanafi menekankan perlunya
rasionalisme, karena rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan
dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di
dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban
Barat.[44] Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural Barat,
dan dia mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan diulas di
akhir makalah ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia
(termasuk Islam). Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada
teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat
realitas dunia kontemporer.
Jadi, ada tiga pilar atau
agenda, yaitu : revitalisasi khasanak klasik (sikap kita terhadap
tradisi lama), menentang peradaban Barat (sikap kita terhadap tradisi
Barat), dan analisis atas realitas (sikap kita terhadap realitas atau
“teori intepretasi”). Dari ketiganya, posisi “ego” (aku, artinya umat
Islam) berada di tengah –hal ini akan dibahas kemudian.
Sebelum melangkah pada
oksidentalisme, perlu dibahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan
Hanafi mengenai tradisi (turâts). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar
barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan
ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah
barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah
elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan
masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah
sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia”
serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.[45] Tradisi
ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi
kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi
menjadi kekuatan yang membebaskan.
Titik tolak Hassan Hanafi adalah
realitas Arab saat ini, dan menurutnya adalah keharusan pemecahannya
untuk mengakhiri semua hal yang menghambat perkembangan dalam dunia
Islam dan Arab. Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia
dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam
merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Hassan Hanafi
mensyaratkan revolusi kemanusiaan sebelum melakukan pembangunan lainnya,
sebagai langkah awal dalam mewujudkan kehidupan yang manusiawi.[46]
Bahkan, dengan berjilid-jilid buku yang menjadi bagian dari proyeknya
adalah usaha untuk mengubah kata “Tuhan” menjadi kata “Manusia”.
Proyek Hassan Hanafi dimaksudkan
untuk merekonstruksi, menyatukan, dan mengintepretasikan seluruh ilmu
peradaban Islam bedasarkan kebutuhan modern untuk dijadikan sebagai
ideologi manusia, untuk menuju kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga
bermaksud merekonstruksi tradisi kebudayaan Barat yang dicirikannya
sebagai kebudayaan murni historis, di mana wahyu Tuhan tidak dijadikan
sebagai sentral peradaban.[47] Hanafi sedang mendekonstruksi bangunan
pemikiran Islam klasik yang mati fungsi peradabannya, di samping juga
mendekonstruksi klaim-klaim universalitas dan hegemoni wacana yang
dilakukan Barat, melalui pemikiran dan kebudayaan werternis. Pandangan
obyektif dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi adalah bagaimana
agenda “oksidentalisme” menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam
melihat Barat dan upaya westernasasi.
Seperti dijelaskan Hassan
Hanafi, Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan
dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui the
other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua
antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas
inferioritas (murâkab al-naqîsh) pada ego dengan kompleksitas
superioritas (murâkab al-‘uzmâ) pada pihak the other. Orientalisme lama
adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji
terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam
melihat Timur. Hal demikian dibalikkan dengan Oksidentalisme, yang
tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the
other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya
sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan inferioritas kompleks ego
dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji.[48] Hanya saja
Oksidentalisme kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak
berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga
tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui
keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan
Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral
dibadindingkan ego Orientalisme.[49]
Pemikiran Hassan Hanafi juga
dilandasi oleh penafsiran secara hermeneutik terhadap teks keagamaan
(tradisi keilmuan Islam lama) agar didapatkan pemahaman yang hidup dalam
memberikan kontribusi bagi pembebasan.[50] Oksidentalisme adalah bagian
dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif
umat Islam dalam membaca tradisinya sendiri dan tradisi the other.
Pemikiran dia juga bermuatan rasional, karena jika masih menggunakan
baju konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa. Teks
itu adalah barang mati, yang hidup adalah makna (meaning) dan
intepretasi baru (significance). Tugas umat Islam adalah bagaimana
menghidupkan teks dalam tradisi itu menjadi relevan dan berguna bagi
kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi dan juga Muhammad Imarah perlu
diapresiasi lebih mendalam, karena mereka adalah pelanjut bagi tradisi
pemikiran Islam kontemporer yang kritis, setelah Ibnu Rusyd dan M.
Abduh.
3. Tradisional-konservatif atau Ideal Totalistik
Pemikiran Islam
tradisional-konservatif lebih dikenal dalam istilah Arab sebagai
kelompok ‘salafiyah’. Menurut ‘Abd al-Mun’im al-Hifni, bahwa golongan
salafiyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama
salaf (al-salâf al-shâlihin), yaitu mereka yang hidup dalam tiga
generasi pertama, yakni Sahabat Nabi SAW., Tabi’in dan Atba’
Thâbi’în.[51]
Karakteristik pokok kelompok ini
antara lain; pertama, argumennya harus jelas diambil dari al-Qur’an dan
al-Hadis. Kedua, penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang
shahih. Ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa dalam
konteks aqidah harus bersandar kepada nash-nash saja. Mereka mempercayai
dan hanya menerima nash per se, karena itu yang bersumber dari Allah.
Adapun rasio hanya berfungsi sebagai pembenar (tashdîq) dan saksi
(syâhid), bukan sebagai penentu (hâkimî).[52]
Tipologi kelompok ini diwakili
oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam
sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya
kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan
kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim.
Menurut kelompok ini, umat Islam
harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari
dalam (bid’ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas)
menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlâh
al-Islâmiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini
disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk
segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika,
tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan
epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar
seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah
Islamis. Sejarah Islam yang panjang terlalu suram untuk dijadikan model
emulasi. Pemimpin dan khalifah pada zaman yang disebut era kegemilangan
Islam tidak lebih dari kaum hedonistik yang identik dengan wanita,
minuman keras dan cerita 1001 malam. Kalaupun ada jasa mereka, tidak
lebih dari memasukkan unsur kebid’ahan Yunani lewat apa yang dinamakan
falsafah. Dan kaum Muslim semakin menjauh saja dari ajaran asli
Islam.[53]
Begitulah kira-kira gambaran
umum pandangan kelompok ideal-totalistik dalam melihat kondisi kaum
Muslim dan sejarah mereka. Tidak ada batasan yang jelas mana yang
historis dan mana yang cuma sebagai doktrin. Kebanyakan dari kelompok
pemikiran ini menafikan Islam sebagai peradaban dan akumulasi sejarah
kaum Muslim. Kalaupun ada, masanya singkat sekali, yaitu zaman Rasul,
atau jika mau diperluas sedikit, zaman Khalifah yang empat dengan sikap
yang ketat pada era dua Khalifah yang terakhir. Islam adalah doktrin
aqidah sebelum sebagai doktrin peradaban. Nabi adalah sebagai figur
terakhir untuk panutan seluruh kerja yang dilakukan kaum Muslim,
termasuk di zaman modern ini. Dengan kata lain, sunnah-sunnah Rasul
harus dihidupkan untuk era modern. Inilah inti dari kebangkitan Islam.
Figur-figur yang mewakili
kelompok ini untuk masa sekarang banyak datang dari Islam Gerakan (Islâm
harâkî) atau para pemikir keagamaan yang memiliki dan berafiliasi
kepada massa Muslim. Berikut ini, kita akan melihat tiga orang figur
ternama yang semuanya secara kebetulan datang dari latar belakang yang
sama; pertama Muhammad Quthb, adik kandung Sayyid Quthb yang banyak
menulis karya-karya dengan model Islam haraki. Kedua, Anwar Jundi,
seorang aktifis yang banyak menuliskan masalah-masalah keislaman dalam
jurnal-jurnal berbahasa Arab, dan ketiga, Muhammad Ghazali, seorang
‘alim al-Azhar yang akhir-akhir ini berusaha mencoba menjembatani antara
“fundamentalisme” dengan “intelektualisme”.
Muhammad Quthb banyak memiliki
kesamaan dengan kakak kandungnya Sayyid Quthb. Bukan hanya karena
hubungan darah. Lebih dari itu, dari soal model tulisan hingga cara dan
sikap intelektualnya, tidak berbeda dengan Sayyid. Pendeknya, M. Quthb
adalah perpanjangan dari figur S. Quthb. Dari karya awal-awalnya
al-Insân bayna al-Maddiyyah wa al-Islâm, hingga Jahîliyah al-Qarn
al-’Isyrin, M. Quthb - seperti juga S. Quthb - menyatakan perang
terhadap ideologi-ideologi dan pandangan-pandangan asing. Dalam kamus
intelektualnya, hanya ada dua entry: pertama, Islam (jund Allah, ahbab
al-Rasul, al-Muslimun) dan kedua, Jahiliyyah (kuffar, thaghut,
al-’ilmaniyyah wa al-maddiyyah). Dua terma dialektis tersebut mengisi
hampir seluruh karya-karya Quthb. Dan dua terma tersebut –menurutnya -
ada dalam sepanjang sejarah manusia.
Pada masa lampau, Jahiliyyah
diwakili oleh kaum Musyrik Makkah dan Yahudi Madinah. Pada era sekarang,
ada Jahiliyah al-Qarn al-’Isyrin (Jahiliyyah abad 20/modern).[54]
Konsep jahiliyyah yang dipakai M. Quthb adalah terma Qur’ani yang juga
sering dipakai oleh Sayyid Quthb dan Abu al-A’la al-Mawdudi’. Muhammad
Quthb mendefinisikan jahiliyyah sebagai “kondisi psikologis di mana jiwa
menolak petunjuk Tuhan”.[55] Penolakan jiwa atas kebenaran selalu ada
di mana-mana dan kapan saja, karena itu jahiliyyah selalu ada sepanjang
sejarah. Dalam bentuknya yang paling jelas, Jahiliyyah modern adalah
Barat dan para pemimpin thâghut negeri-negeri Muslim yang mengadopsi
sistem Barat.[56]
Sejalan dengan Muhammad Quthb,
Anwar Jundi meyakini pentingnya dikotomi istilah Islam dan non-Islam.
Tekanan yang diberikan Jundi lebih pada aspek intelektual, berbeda
dengan Quthb yang lebih menekankan perbedaan Islam-Barat (non-Islam)
pada aspek ideologis. Jundi selalu menggunakan istilah pemikiran Islam
(al-fikr al-Islami) vis a vis pemikiran Barat (al-fikr al-Gharbi).
Pemikiran dan budaya Islam adalah pencapaian Muslim yang digali dari
al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ia disebut Islami karena seluruhnya
berlandaskan Islam, dari sinilah istilah budaya dan peradaban Islam
kemudian digunakan. Pandangan Jundi ini, khususnya sikap kepada
pemikiran Islam, jauh berbeda dengan Quthb yang berusaha mereduksi
segala jenis pemikiran Islam kepada “Islam”. Untuk yang terakhir ini,
Islam adalah alternatif par excellent, sementara pemikiran Islam
hanyalah pelengkap yang terkadang banyak membuat distorsi kepada makna
Islam. Dalam kumpulan artikelnya, Ithâr al Islâm li al-Fikr al-Mu’âshir,
Jundi meyakini adanya pluralitas budaya dan juga peradaban. Setiap
budaya sebuah bangsa berbeda dengan budaya bangsa lainnya, karena itu
tidak ada yang namanya budaya universal (al-tsaqâfah al-alâmiyyah).[57]
Sedikit agak berbeda dengan
Quthb dan Jundi, Muhammad Ghazali adalah intellektual-’alim Arab
kontemporer yang mampu berinteraksi dan berantisipasi dengan
gerakan-gerakan pemikiran modern dengan pendekatan da’wah bi al-hâl
fikran wa manhâjan (pemikiran dan metode). Ia banyak menulis buku-buku
bersifat da’wah dengan tujuan pokok menjembatani kaum salafi yang
“tertutup” dengan kaum modernis yang “terbuka”.
Karya pentingnya yang mendapat
sambutan luar biasa adalah al-Sunnah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts
(diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Studi Kritis Hadis Nabi SAW.:
antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual) di mana, ia mendemonstrasikan
keluwesannya dalam memahami warisan hukum Islam. Untuk Ghazali,
pemahaman hukum Islam haruslah dilihat secara kontekstual lewat
pemahaman universal. Menurutnya, teks-teks agama, Hadits khususnya,
bukan hanya milik pakar Hadis yang mempunyai 1001 macam persyaratan
penyeleksian satu riwayat, yang juga terlampau tekstual dan terikat pada
makna literal sebuah teks.
Di lain pihak, para fuqaha telah
terperangkap ke dalam terma-terma fiqh yang hanya berkonotasi kepada
masalah legalitas hukum saja, padahal istilah fiqh itu sendiri berarti
pemahaman, dengan seluas-luas maknanya.[58]
Dalam bersikap, Ghazali tampak
lebih moderat dan sedikit banyak lebih akomodatif dengan perkembangan
pemikiran kontemporer dibanding dengan pemikir-pemikir sealiran
dengannya. Kendati demikian, pada skala besar, program yang dicanangkan
Ghazali dalam proyek peradabannya adalah juga program yang direalisasi
oleh kelompok pemikir yang berkecenderungan ideal-totalistik.
C. Penutup
Demikianlah ketiga trend atau
kecenderungan pemikiran Islam Timur Tengah yang mewarnai wacana ilmiah
Arab sampai sekarang. Tiga trend pemikiran ini merupakan gambaran global
dari visi-visi pemikiran Islam yang ada. Pada dasarnya, setiap trend
pemikiran tersebut, jika dikaji lagi secara mendalam, akan muncul
varian-varian lain yang lebih komplek. Akan tetapi, kesemuanya berperan
dalam menentukan harapan dan obsesi bangsa kawasan Timur Tengah di masa
mendatang. Ketiga tipologi tersebut, secara kasar, bisa dilihat dalam
perspektif paradigmatis, dimana antara masing-masing kelompok mempunyai
bahasa khusus yang berbeda-beda, yang tidak dipahami satu sama lain.
Kalaupun bisa dikomunikasikan,
dialog antara mereka sulit untuk saling dimengerti. Itu terjadi misalnya
bagaimana usaha kaum liberal dari kalangan transformatik menyatukan
kelompok-kelompok yang sekular dengan kelompok religius, atau antara
kelompok modernis dengan kelompok tradisionalis. Tak pelak, mereka pun
menciptakan paradigma ketiga yang juga memiliki kosa kata tersendiri.
Begitu juga dengan kelompok-kelompok lain, meski mereka mengklaim dengan
proyek peradabannya, bahwa merekalah yang paling compatable dengan
kondisi dunia Islam Timur Tengah, sebenarnya mereka telah terperangkap
ke dalam kerangka epistemik yang pada akhirnya mengarah pada dogmatisme
(untuk menghindari istilah sektarianisme).
Tipologi pemikiran Arab
kontemporer seperti yang diilustrasikan di atas adalah refleksi dari
interaksi dan sikap para intelektual Arab terhadap isu di sekitar
tradisi dan modernitas. Sikap tersebut kemudian memunculkan - di samping
discourse baru menyangkut isu tradisi dan modernitas - idiom-idiom dan
istilah baru dalam kamus pemikiran Arab yang sebelumnya tidak begitu
menyita perhatian.
Jadi,
pengkajian ketiga tren pemikiran dalam tulisan ini merupakan upaya awal
untuk memetakan dan memahami karakteristik pemikiran Islam yang sangat
beragam. Dengan demikian, setiap pemikir akan bisa dianalisis, masuk
dalam kategori apakah proyek pemikiran dia, salafi (total idealistik),
sekuler, atau reformis moderat?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hifni, Abd. al-Mun’in, Mausǔ’ah al-Furǔq wa al-Jamâ’at wa al-Madzâhib al-Islâmiyah, Kairo : Dar al-Rasyad, 1993
Abdullah, Amin, “Al-Ta’wīl Al-‘Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, dalam al-Jami’ah : Journal of Islamic Studies, Volume 39, Number 2, July-Desember 2001
Al-Ghazali, Muhammad, Studi Kritis Hadis Nabi SAW.: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung : Mizan, 1998
Assyaukanie, Luthfi, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume I, Nomor 1, Juli-Desember 1998
Boullata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta : LKIS, 2001
Hanafi, Hasan, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta : LKIS, 2001
____________, “Kata Pengantar”, dalam Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Ainul Abied Shah (ed.), Bandung : Mizan, 2001
____________, Al-Turâts wa al-Tajdīd, Mauqifuna min Al-Turâts Al-Qadĭm, Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’ah li Al-Dirasah wa Al-Nasyw wa Al-Tauzi’, 1992
____________, Oksidentalisme, Sikap kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta : Paramadina, 2000
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal Islam Timur Tengah, Bandung : Mizan, 2005
Husaîn, Thâhâ, Mustaqbâl al-Tsaqâfah fi al-Mishr, Kairo : Dar al-Ma’ârif, t.t
Imarah, Muhammad, Al-‘Almâniyyah baina al-Gharb wa al-Islâm, Kuwait : Dar al-Da’wah, 1996
_________________, Al-Islâm baina al-Tanwīr wa al-Tazwīr, Kairo : Dar al-Syurũq, 1995
_________________, Al-Islam wa Sulthah al-Dinīyyah, Beirut : Dâr al-Shahwah, 1980
_________________, Salamah Mūsa, Kairo : Dâr al-Shahwah, 1995
Laroui, Abdullah, Al-`Arab wa al-Fikr al-Tarīkhi, Beirut : Dâr al-Fikr, 1978
Majalah Tempo, No. 14/XXX/4-11 Juni 2001.
Musa, Salamah, Al-Yaum wa al-Ghad, Kairo : ttp., 1928
Nasution, Harun, Filsafat dan Misticisme, Jakarta : Bulan Bintang, 1973
Quthb, Muhammad, Jahīliyah al-Qarn al-’Isyrin, Kairo : Maktabah Wahbah, 1964
Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi Bandung: Teraju, 2002
Tayzini, Thayyib, Min al-Turâts ila al-Tsaurah, Beirut : Dâr-al-Fikr, 1978
Voll, John Obert, Politik Islam : Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, penterjemah Ajat Sudrajat, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997
Wahbah, Murad, Ushûliyyah wa al-‘Almâniyyah, Kairo : Dâr al-Tsaqâfah, 1991
Wijaya, M. Yusuf, “Visi-Visi
Pemikiran Keislaman : Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur
Tengah”, dalam Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Ainul Abied Shah (ed.), Bandung : Mizan, 2001
Yusuf, Taufiq, Auham al-‘Almâniyyah hauna al-Risâlah wa al-Manhâj, Manshûrah : Dâr al-Wafâ, 1988