PERAN AKAL DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN
Kebutuhan-kebutuhan manusia dan tuntutan pemenuhannya merupakan dorongan yang membuat manusia memiliki alasan dan gairah untuk menjalani kehidupannya. Segala macam aktivitas manusia di dunia bisa dikatakan dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Manusia menjalani berbagai bentuk pekerjaan dan usaha dalam rangka mencari pemenuhan kebutuhan hidup.
Di jaman sekarang ini, seharian penuh manusia mencari uang. Jika mereka ditanya: “untuk apa uang yang mereka dapat?”, maka jawabnya pasti seputar pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, bisa bersifat fisik, seperti pemenuhan kebutuhan makan, minum, maupun memenuhi kebutuan naluriah, seperti untuk menjalani ibadah, biaya menikah, biaya untuk meningkatkan status sosial, dll. Manusia saling berinteraksi dan berkomunikasi antara satu dengan yang lain juga dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Singkatnya, kebutuhan fisik dan naluriah manusia merupakan faktor yang mendasari segala bentuk aktivitasnya.
Hanya saja, manusia itu berbeda dengan hewan. Sebab, aktivitas hewan sepenuhnya hanya ditentukan oleh dorongan kebutuhan fisik dan naluriahnya. Tidak ada faktor lain yang menentukan tindak-tanduk hewan kecuali dorongan kebutuhan tersebut. Maka, hewan akan makan begitu dia lapar dan ada makanan, dia akan berhubungan seksual begitu ada kebutuhan dan lawan jenis, hewan akan bertarung begitu naluri mempertahankan dirinya terangsang, dst.
Berbeda dengan manusia. Meski manusia memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan, tapi tingkah lakunya (suluk) tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan itu. Manusia memiliki kebutuhan untuk makan dan minum, akan tetapi rasa lapar dan keberadaan makanan tidak otomatis membuat manusia menyikat makanan yang ada di depannya (karena bukan miliknya atau karena sedang puasa, misalnya). Manusia juga memiliki kebutuhan seksual, akan tetapi keberadaan wanita cantik tidak serta-merta membuat seorang laki-laki -maaf- melampiaskan kebutuhan seksual dengan wanita tersebut (karena tidak halal untuknya). Manusia memiliki rasa marah, tapi rasa marah itu tidak otomatis membuat manusia memukul orang yang membuatnya marah. Dan sebagainya.
Artinya, manusia memiliki tatanan dan kaidah-kaidah nilai yang rumit dalam menentukan tingkah lakunya. Itu karena manusia punya akal. Akal berfungsi untuk mengaitkan fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang hadir dengan informasi-informasi yang dimiliki oleh seseorang. Dengan pengaitan itu, manusia bisa memahami hakekat dari fakta atau pemikiran yang tengah ditela’ah. Akal ini bukan hanya digunakan untuk memahami dan mengembangkan cara-cara yang lebih efektif untuk memuaskan kebutuhan manusia (dengan teknologi). Akan tetapi akal juga memungkin manusia untuk membentuk pemahaman-pemahaman (mafaahim) tentang nilai, status hukum dan penyikapan dari suatu pemikiran atau fakta. Maksud saya adalah pemahaman mengenai standar yang digunakan untuk membedakan mana suatu hal yang terpuji dan mana hal yang tercela, mana hal yang pantas untuk diterima dan mana hal yang harus ditolak, mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk.
Dengan pemahaman seputar nilai atau hukum terhadap suatu fakta itulah manusia akan menentukan kecenderungan (muyul) mengenai apa yang dia hadapi. Ada pun yang disebut dengan kecenderungan (muyul) adalah suatu corak hasrat/keinginan tertentu yang terbentuk oleh pemahaman(mafhum). Maka muyul ini hanya ada pada manusia, sebab, muyul adalah hasil peleburan antara dorongan-dorangan (dawafi’) kebutuhan yang muncul dengan pemahaman-pemahaman (mafaahim) manusia mengenai status hukum dari alternatif-alternatif perbuatan yang ada.
Jika seorang manusia telah memiliki pemahaman (mafhum) bahwa suatu perbuatan itu merupakan perbuatan yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka akan tumbuh kecenderungan (muyul) berupa rasa suka dan ingin mengamalkan perbuatan yang dia pahami itu. dia akan memenuhi kebutuhannya dengan perbuatan itu, tapi jika sesuatu diidentifikasi sebagai perbuatan buruk atau tercela, maka dia akan membenci hal tersebut. Jadi muyul bisa membentuk kecintaan dan kebencian terhadap suatu fakta atau pemikiran tertentu.
Atas dasar itu, perbuatan manusia itu tidak hanya ditentukan oleh keberadaan dorongan-dorongan (dawafi’) yang muncul dari kebutuhan-kebutuhan yang ada pada dirinya (baik berupa kebutuhan fisik maupun naluriah), tapi, perbuatan manusia itu juga ditentukan oleh bentuk kecenderungannya (muyul) terhadap perbuatan-perbuatan yang akan dilakukannya, sedangkan bentuk kecenderungan (hasrat) ini ditentukan oleh pemahaman-pemahaman (mafaahim) manusia mengenai nalai-nilai perbuatan.