Sunday, 2 June 2013

Pengertian Tasawuf amali

PENGERTIAN TASAWUF AMALI

Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.

Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Terdapat beberapa istilah praktis dalam Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat, dan Ma’rifat.

1. Syari’at dan Thariqat

Secara umum syaria’t adalah segala ketentuan agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-orang sufi, syari’at itu ialah amal ibadah lahir dan urusan muamalat mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Definisi lain mengatakan bahwa Syari’at adalah kualitas amal lahir –formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Al-qur’an dan sunnah. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa syari’at adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya menyentuh aspek lahir manusia dan tidak menyentuh aspek batin manusia.

Ath-Thusi dalam Al-Luma’ mengatakan bahwa syari’at adalah suatu ilmu yang mengandung dua pengertian, yaitu riwayah dan dirayah yang berisikan amalan-amalan lahir dan batin.Selanjutnya yang perlu dipahami adalah bahwa apabila syari’at di artikan sebagai ilmu yang riwayah adalah segala macam hukum teoritis yang termaktub dan terurai dalam ilmu fiqih yakni ilmu-ilmu teoritis yang bersifat lahiriah. Sebaliknya, apabila syari’at diartikan sebagai ilmu yang dirayah maka makna dari syari’at itu adalah makna batiniah dari ilmu lahiriah atau dapat disebut dengan makna hakikat dari ilmu fiqih itu sendiri. Sehingga, bila dikaitkan dengan para fuqaha dan sufi yang memiliki perbedaan pandangan, syari’at yang bersifat riwayah adalah macam ilmu yang disebut dengan fiqih, yakni ilmu yang menyentuh aspek lahiriah saja. Sedangkan syari’at yang berkonotasi dirayah adalah ilmu yang sekarang ini dikenal dengan ilmu tasawuf yakni ilmu yang cenderung menyentuh aspek batiniah.

Mengenai syari’at ini para ahli sufi lebih menekankan pada aspek hakekat atau makna batiniah dari dari ilmu lahiriah (syari’at) ketimbang para ahli fiqih yang hanya menekankan pada aspek lahiriyah saja. Memang pada dasarnya syari’at adalah simbol hukum yang mengatur kehidupan agama yang bersifat lahiriyah. Namun menurut para sufi hal ini tidak berkaitan dengan kenyataan batin. Kenyataan batin dan iman itu diluar jangkauan dari syari’at (ilmu yang bersifat lahiriah) dan hal ini hanya dapat dilihat dan dimengerti dengan jalan sufi. Menurut keyakinan sufi, seseorang akan mencapai hakikat suatu ibadah apabila mereka telah menempuh jalan yang menuju pada hakikat tersebut, yakni thariqat.

Thariqat menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan. Thariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut dengan thariq. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa thariqat adalah cabang dari syari’at yang merupakan pangkal dari suatu ibadah. Hal ini dapat pula digambarkan bahwa tidak mungkin adanya suatu ibadah yang dilakukan tanpa adanya perintah yang mengikat. Sehingga untuk menempuh anak jalan yang menuntun kepada hakikat tujuan ibadah harus mengerti terlebih dahulu akar atau pangkal dari jalan tersebut, yaitu syari’at (landasan hukum). Sehingga dapat digambarkan bahwa jalan-jalan tersebut terbagi kedalam tiga batasan antara manusia dan teologis, yakni syari’at, thariqat dan hakikat. Dalam hal ini, terdapat pepatah sufi yang mengatakan “untuk mencapai haqiqah (inti) anda harus mampu menghancurkan kulit”. Yakni makna essensial melebihi makna-makna yang bersifat eksotoris dan tidak dapat direduksikan dalam bentuk luaran yang bersifat eksotoris

2. Ma’rifat

Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah artinya adalah pengetahuan, pengalaman dan pengetahuan illahi. Ma’rifat adalah kumpulan ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadah kepada Allah SWT.Dalam istilah tasawuf ma’rifat adalah pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui sanubari.

Al-Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat kedalam hal-hal berikut:
  • Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada;
  • Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajahnya
  • Ma’rifat datang sebelum mahabbah.
Sebagian besar para sufi mengatakan bahwa ma’rifat adalah puncak dari tasawuf, yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, para sufi berkeyakinan bahwa setiap orang yang menempuh jalan tasawuf dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, yakni ma’rifat.

Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang di diperoleh dari anugerah tuhan yang tidak dapat didapat lewat usaha manusia.Hal ini berarti bahwa ilmu ini diberikan oleh tuhan kepada hambanya yang diistimewakan atau dipilih melalui ketakwaan, kesalehan dan sufi. Untuk mendapatkan ma’rifat seorang sufi harus menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya serta melakukan pendakian tingkatan-tingkatan rohani yang disebut dengan maoqamat yang mana tujuan akhir dari pendakian tersebut adalah ma’rifat yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya

Hadah, menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan seganap esensi diri hanya kepada Allah SWT. Di dalamnya terdapat kaidah-kaidah suluk (perjalanan tarbiyah ruhiyah), macam-macam etika (adab) secara terperinci, seperti hubungan antara murid dengan shaykh, ‘uzlah dengan khalwah, tidak banyak makan (al-ju’), mengoptimalkan waktu malam, diam, memperbanyak dzikir, dan semua yang berkaitan dengan kaidah-kaidah suluk dan adab. Pada hakikatnya metode kaum sufi ini hanyalah sebuah lanjutan atau pengembangan dari tasawuf nazari (tasawuf Sunni). Dinamakan tasawuf ‘amali adalah karena sisi amal di dalamnya lebih dominan dari sisi nazari (teori), akan tetapi tidak berarti tasawuf ini kosong dari teori, bahkan sisi ini lebih sempurna dan komprehensip dari sisi pertama. Istilah ‘amali di sini menunjukkan bahwa tasawuf ini telah menjadi sebuah madrasat tariqah (tarbiyah ruhiyah kolektif) yang terorganisir.

Tasawuf ini berawal dari sifat zuhud, kemudian tasawuf dan akhlak (Sunni), berakhir kepada sistem tarbiyah kolektif (tariqat jama’i). Inilah akar perkembangan tariqah yaitu semenjak abad keenam dan ketujuh hijriyah. Maka kita dapati tariqah ini adalah sebuah janji antara Shaykh dan muridnya untuk bertaubat, istiqomah, masuk kepada jalan Allah dan senantiasa mengingat-Nya (al-dhikr), serta beramal dengan etika dan dasar-dasar tariqah yang harus diikuti oleh seorang murid di samping melaksanakan wirid-wirid (rutinitas ibadah), serta al-hizb (gubahan do’a) Shaykh tariqah pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Tasawuf ini menjadi bentuk kolektif setelah sebelumnya berjalan secara individu-individu yang terpisah dan tidak terorganisir. Akhirnya tasawuf ini mereka namakan: “kumpulan individu-individu sufi yang berloyalitas kepada Shaykh tertentu, dan patuh terhadap sistem tarbiyah ruhiyah, hidup secara kolektif di zawiyah, rubbat}, dan khanaqah, mengadakan perkumpulan rutin pada kesempatan-kesempatan tertentu, serta mengadakan majlis-majlis ilmu dan dzikir secara teratur. Kajian tasawuf ‘amali> ini berkembang pada abad 3 dan 4 H. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para tokoh. Pertama cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat ‘amali> yang didasarkan pada al-Qur’a>n dan al-Sunnah. Kedua cenderung pada kajian tasawuf falsafi> dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika.

Dalam lingkungan aliran pertama diantaranya muncul tiga orang penulis aliran tasawuf terkenal yang buku-bukunya masih dapat ditemukan dewasa ini.
  • Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, seorang penulis kitab besar dan fundamentalis dalam tasawuf berjudul al-Luma’
  • Abu Talib al-Maki membuktikan keabsahan dari doktrin dan praktik sufi dalam karyanya Qut al-Qulub
  • AbuBakr al-Kalabazi penulis buku kecil Ta’aruf li Madhhab al-Tasawwuf. Ketiga penulis tersebut telah memperkenalkan doktrin dan praktik tasawuf yang muncul pada abad 4 H dan sebelumnya.
Imam terbesar tasawuf ‘amali, yang telah berhasil menyatukan antara teori dan amal adalah Shaykh Abd al-Qodir al-Jilani (470 H/1077 M - 561 H/1166 M), dia adalah orang pertama yang mendirikan madrasah ini dalam bentuk tariqah. Kemudian diikuti oleh Imam Ahmad al-Rifa’i(w.578 H/1106 M), Imam Abu al-H}asan al-Shadhili, dan Imam Baha’ al-Din Muhammad al-Naqshabandi (717-791 M), dan Imam lainya. Mereka adalah ulama-ulama dalam ilmu-ilmu Islam, dan teladan yang baik dalam akhlak yang mulia, serta para murshid yang membimbing untuk sampai kepada ma’rifah kepada Allah SWT dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Sehingga tasawuf ‘amali ini identik dengan aliran tariqah sufiyyah yang didalamnya ada berbagai unsur praktik ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menekankan aspek amaliah. Artinya, dalam melaksanakan tasawuf tidak hanya sekedar teori tetapi juga praktik, sehingga lebih bisa merasakan tujuan utama daripada tasawuf yaitu dekatnya seorang makhluq kepada al-Khaliq

Sumber :
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit AMZAH.h. 263
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf”. Yigyakarta : Aura Media, h 217
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Op.Cit Hal. 239